TUNAS PUITIKA MEDIA TUNAS MUDA MENUJU KREATIF

SATU ACE IS ICE

by Tuesday, November 10, 2015 0 comments

“Bagaimana? Apa Kau menerima tawaranku?” tanya Harris dari seberang telepon membuat Trash duduk di kursi dalam rumahnya sebelum menyulut rokoknya. Tak menanggapi tawaran Harris.
Trash mengedarkan pandangan ke seluruh sudut untuk membandingkan keuntungan yang akan didapatnya andai saja dia menerima tawaran Harris.
Sebuah ranjang kecil pendek yang hanya dialasi kasur tipis setua seprei yang terpasang di atasnya, lemari buku yang hampir menutupi sepanjang dinding samping jendela, perapian yang hanya sesekali dipakainya, dan sebuah kursi – memang hanya itu satu-satunya kursi yang ada di dalam rumah Trash – sangat reyot yang Trash yakini akan patah jika ia duduki tiga kali lagi. Hanya itu barang milik Trash di rumah pondoknya dalam pengasingannya selama ini.
Bukan karena Trash orang miskin tapi karena dia tidak ingin membuang tenaga untuk membuat rumah yang lebih besar. Dia yakin tidak akan ada tamu yang datang ke rumahnya. Tidak juga teman-temannya – Trash memang tidak punya teman kecuali Eloisa Frost.
Seperti namanya, Trash adalah sampah bagi kebanyakan orang yang mengenalnya. Alasannya tidak masuk akal, karena Trash adalah pesona, cinta, dan perang.
Teman-temannya mengirimnya ke negeri antah berantah yang tak berpenghuni – manusia. Mereka ingin Trash mati di sana hanya karena Trash sering membuat kekacauan kecil. Sebenarnya tak bisa disebut kecil karena membuat para wanita bahkan rela saling membunuh untuk mendapatkannya. Sering pula memicu perang hanya untuk bersenang-senang – bagi Trash hal itu memang hanya sekadar main-main. Selera humor merekalah yang perlu diperbaiki.
“Pikirkan lagi, Trash. Jika Kau tidak menerima tawaranku entah kapan lagi Kau punya alasan untuk keluar dari sana,” ucap Harris lagi, membuat Trash terkekeh.
“Apa Kau pikir tawaranmu sangat mempengaruhiku? Jika Kau pikir aku tidak memenuhi syarat yang sangat sempurna untuk pekerjaan ini, kenapa Kau meneleponku, Pecundang? Memohonlah padaku gadis manis,” kata Trash mencemooh dengan santai membuat Harris mengumpat di seberang telepon.
“Oke. Baiklah. Kau memang tidak pernah terpengaruh ya, Sampah,” Trash terkekeh mendengar amarah dalam nada bicara Harris.
“Bukan begitu caranya memohon dan aku sudah cukup ramah mau mengangkat telepon tidak penting darimu,” kata Trash sebelum Harris mematikan ponselnya.
Ponsel yang digunakan Trash dan kaum Elf seperti Harris memang berbeda dengan ponsel manusia pada umumnya. Ponsel tanpa radiasi dan gelombang frekuensi. Bahkan mereka bisa menggunakannya di perut bumi sekalipun. Yang dibutuhkan untuk memfungsikannya hanya pikiran mereka.
Trash melemparkan ponselnya ke atas ranjang sebelum menghisap habis rokoknya. Rokok yang dibuatnya sendiri dari perkebunan tembakau di belakang rumah kecilnya. Pohon-pohon tembakau yang ditanam sendiri oleh Trash untuk kebutuhan rokoknya sepanjang keabadian.
Bisa dibilang semua tumbuhan dan hewan dapat hidup di negeri antah berantah itu, tanpa terkecuali. Beberapa hewan yang sulit ditemukan di negeri lain dan hanya bisa dijumpai di negeri tertentu pun sudah dilihat Trash di sini. Ikan Piranha, Komodo raksasa, dan ular besar Anakonda sudah bukan hal baru lagi bagi Trash.
Sesekali Trash harus memakan gajah atau apa pun yang ditemukannya jika dia terdesak untuk mengobati rasa laparnya dan tidak menemukan hewan lain untuk diburu.
Trash mengusap rahangnya yang sudah ditumbuhi cambang sebelum memikirkan kembali apa yang dikatakan Harris tadi.
“Di sini sedang ada masalah. Adikku Breanna diculik oleh salah seorang anak Dewa Kematian dan kami belum menemukannya hingga delapan bulan ini. Apa Kau mau menerima tawaranku untuk mencarinya? Membantu pengawal-pengawal ayah? Sharon juga akan membantu.”
“Sharon...” ucap Trash perlahan sembari memejamkan mata. Mencoba menghadirkan kembali kenangan delapan ratus tahun yang lalu.
Sharon adalah orang yang Trash sukai. Bahkan tangan Trash masih saja terus gemetar jika mendengar nama itu. Trash masih sangat menginginkan wanita itu. Wanita tercantik yang pernah Trash temui, dengan rambut merah gelap ikal sepanjang bahu yang mempercantik wajah cerianya. Trash seolah masih sangat mengingat bagaimana suara tawa wanita yang serak dan merdu itu.
Suara ponselnya membuat Trash membuka matanya dan mengumpat. Dia mengambil ponselnya untuk sejenak menghapus kenangan tentang Sharon yang begitu memesona.
Tangan Trash gemetar saat melihat nama yang tertera. Sharon menghubunginya. Sepertinya Harris tidak membuang waktu dan segera meminta Sharon untuk membujuknya agar mau membantu mencari adik Harris saat Trash menolak.
“Mati Kau, Harris. Pecundang menyedihkan!”
“Trash... Kaukah yang menerima teleponnya?” tanya suara dari seberang. Walaupun Trash sangat merindukan suara itu tapi tak bisa membuat Trash berhasil untuk tidak memutar bola matanya mendengar pertanyaannya.
“Tentu saja. Aku hanya punya tetangga ikan Piranha jika Kau ingin tahu kabarku!” jawab Trash membuat Sharon tertawa sama persis seperti yang baru saja Trash bayangkan. Serak dan merdu.
“Kau tidak berubah. Tetap kasar dan tidak tahu sopan santun,” kata Sharon membuat Trash menegang.
“Tidak! Aku berubah!” jawab Trash dingin.
“Ya, well. Terserah Kau saja. Baru saja Harris meneleponku dan mengatakan bahwa Kau menolak tugas ini.”
“Aku bukan milik siapa-siapa, Sharon. Ini bukan tugasku! Jika dia membutuhkan pertolonganku maka dia harus memohon,” kata Trash menekankan kata ‘membutuhkan pertolongan’ membuat Sharon menghembuskan napas berat.
“Trash... kurangi harga dirimu. Kau ingat Harris adalah anak dewan yang memegang keputusan terpenting kaum kita? Jadi, mungkin saja dia bisa membujuk ayahnya untuk membebaskanmu dari sana jika Kau bersedia membantunya.”
Trash tertawa sinis, “ah... terima kasih sudah mengingatkanku soal itu dan itu juga mengingatkanku bahwa sampah yang sudah dibuang bisa menyerangmu jika Kau bermaksud mempermainkannya! Aku tidak butuh semua itu, Sharon. Kau tahu bahkan aku tidak peduli apa pun yang akan mereka lakukan padaku. Satu lagi yang sepertinya Kau lupakan. Aku bukan kaummu, Elf. Aku mutan.”
Sharon menghembuskan napas putus asa, “aku tidak menyangka Kau benar-benar sudah menganggap dirimu sendiri sampah. Kau seperti pecundang sejati, Trash! Aku kira Kau adalah perang tapi ternyata waktu sudah memengaruhi keberanianmu,” kata Sharon mengakhiri percakapan mereka.
Trash menggenggam ponselnya erat, membuat buku-buku tangannya memutih sebelum Trash mengendurkan genggamannya karena Trash yakin dia akan menghancurkan ponsel itu jika tidak menguasai amarahnya.
Jika kata-kata itu diucapkan oleh Harris maka Trash tidak akan peduli. Tapi, Sharon yang mengatakannya. Seseorang yang dulu selalu mengatakan bahwa Trash adalah pesona, cinta, dan perang.
Trash memang seorang mutan. Dia tidak sepenuhnya iblis kematian tapi dirinya juga dewa kehidupan dan tidak ada yang bisa membunuhnya. Karena itu, tidak ada yang benar-benar mampu menekannya walaupun sejak kecil Trash sudah menjadi pesuruh bangsa Elf sampai pada titik mereka tidak lagi menganggap Trash berguna. Mereka mengasingkan Trash hanya karena mereka takut Trash tidak mampu lagi dikendalikan oleh mereka dan tak menganggap penting masa pengabdiannya selama ribuan tahun yang lalu.
Trash tidak pernah peduli pada apa pun yang dikatakan bangsa Elf tapi dia peduli pada kata-kata Sharon. Trash menelepon Harris dan mendapat dengusan sinis dari Harris.
“Bagaimana, Sampah? Aku tidak sia-sia kan meminta Sharon meneleponmu?”
“Aku tidak ingin kebebasan sebagai imbalanku,” jawab Trash.
“Tentu saja. Aku akan memberi pertukaran yang layak! Kau bisa meminta apa pun atau siapa pun,” jawab Harris menekankan kata ‘siapa pun’ yang Trash yakini telah diketahui Harris bahwa yang diinginkan Trash hanya Sharon.
“Kirimkan aku helikopter dan pastikan aku mendapat fasilitas terbaik.”
“Pasti!”
***

“Jangan main-main denganku, Boy. Aku sedang tidak bersemangat untuk bersenang-senang,” kata Trash mendengus melihat seekor ular Boa sudah berbaring di depan pintu pondok kecilnya dan segera mengangkat kepala besarnya saat melihat pintu depan rumah Trash berayun terbuka.
Suara helikopter yang dari tadi berkeliling di atas atap rumah pondok Trash masih terdengar seolah pilotnya kebingungan akan menurunkan helikopter itu di mana untuk menjemput Trash. Tidak ada tempat yang aman di sekitar sana. Semua sudut penuh dengan hewan-hewan buas yang berkeliaran di sekitar pondok.
“Tetaplah mengudara atau Kau dan aku tidak akan bisa keluar dari sini,” teriak Trash pada pilot helikopter di tengah kebisingan baling-baling helikopter yang menggoyangkan semua dahan pohon di sekelilingnya.
Suara manusia biasa tidak akan terdengar di tengah deru baling-baling helikopter yang sudah mendarat. Namun, itulah salah satu keunggulan Trash. Suaranya bahkan bisa didengar oleh pilot saat helikopter masih mengudara.
Trash mengeluarkan sebuah pedang hitam panjang dari dalam ransel kumuhnya sebelum meletakkan ransel itu di dekat kakinya dan melangkah mendekati Ular boa yang kini mulai mendesis mendekatinya dengan kecepatan yang bisa dibilang cepat untuk ukuran Boa sebesar tiga kali lipat tubuh Trash yang besar.
Trash berlari dengan sigap sebelum melompat di atas kepala Boa yang menganga siap menelan Trash hidup-hidup. Ia mendarat di atas tubuh licin bersisik Boa itu lalu menancapkan pedangnya di tubuh menggeliat yang berusaha menjatuhkan Trash dari atas tubuhnya. Trash melompat turun dari atas tubuh Boa yang masih menggeliat kesakitan dan bergelung di atas dedaunan kering untuk menghindari gigitan Boa yang akhirnya melukai tubuh pemilik taring itu sendiri. Membuat ular itu menggeliat tak terkendali karena marah.
Memang ular-ular besar seperti Boa tidak memiliki racun di taring mereka. Tapi, efek lukanya pasti akan sangat parah dan saat kau terluka lalu terbelit dalam tubuh besar ular itu, maka tulang-tulang di tubuhmu akan dihancurkan seketika. Jelas itu bukan yang diinginkan Trash saat ini.
Trash kembali berdiri dan melompati tubuh ular yang masih belum menyerah oleh racun paling mematikan dari pedang Trash. Trash duduk di atas tubuh besar ular itu sebelum memutar dengan sekuat tenaga pedangnya. Lalu, dia menarik pedangnya. Menciptakan lubang menganga di bekas luka tusuk tubuh sang ular. Membuat ular itu menggelepar dan menyerang Trash dengan mulut menganganya sebelum ditahan oleh Trash menggunakan pedangnya. Membelah mulut Boa itu karena pedang milik Trash tajam luar biasa.
Boa itu jatuh ke tanah. Menimbulkan suara gedebum keras dan menggeliat perlahan sebelum benar-benar diam dengan sorot mata kebencian memandang Trash. Tapi, Trash tahu ular itu sudah mati.
Trash mendekati tubuh ular itu. Menahan kepala ular itu menggunakan satu kakinya lalu memenggal kepala ular itu untuk oleh-oleh raja Elf agar pria itu tahu tidak ada yang bisa menjadikan Trash pesuruh lagi setelah ratusan tahun mereka mengasingkan Trash.
Mungkin awalnya mereka berharap Trash akan mati melawan semua hewan-hewan buas itu. Tapi, Trash senang karena mereka akan kecewa saat tahu kemampuan Trash berburu justru semakin meningkat ratusan tahun ini. Bahkan, Trash punya peliharaan beberapa ekor ikan Piranha di kolam ikan belakang rumahnya.
“Turunlah,” perintah Trash pada pilot helikopter sebelum suara helikopter di atas rumah pondok Trash mendekat.
Helikopter hitam itu perlahan turun dan memangkas pohon-pohon yang menghalangi pendaratannya. Membuat semua potongan pohon berhamburan. Tidak sedikit juga yang menimpa rumah Trash. Membuat separuh rumahnya hancur. Baling-baling helikopter itu juga tidak kalah tajam dengan pedang Trash. Seingat Trash helikopter dengan kemampuan seperti itu adalah milik raja Elf.
Jika kalian berharap kerajaan Elf yang ditinggali oleh keluarga Harris adalah kerajaan yang masih memakai pakaian kerajaan yang membosankan dan menggunakan kendaraan kuno, maka kalian salah karena mereka memiliki hampir semua kendaraan tempur tercanggih serta pakaian modern. Tidak seperti kerajaan Orla di hutan ilusi.
Mereka memiliki sekolah modern khusus untuk anak-anak Elf yang tidak hanya mengajarkan teknik perang atau menggunakan sihir. Tapi, juga pelajaran di sekolah biasa karena mereka menyamarkan dunia mereka dengan dunia manusia. Mereka bahkan punya rapor pelajaran matematika atau semacamnya. Itu yang selama ini diketahui Trash.
Sangat konyol. Trash memungut kembali ranselnya sebelum mengganti bajunya yang berlumuran darah ular dengan kaos yang masih bersih.
“Aku harap rajamu punya pekerja yang akan memperbaiki rumahku,” kata Trash membuat pilot itu menelan ludah saat sadar dia sudah meruntuhkan sebagian pondok Trash.
“Maafkan aku. Ini salah satu fasilitas yang dikirim pangeran Harris. Tapi, aku tidak tahu jika ini akan membuat rumahmu runtuh.”
Trash melambaikan tangannya tak mau mendengar alasan, “cepat bawa kepala ular itu masuk ke dalam helikopter. Oleh-oleh yang aku rasa akan sangat membuat rajamu bahagia,” perintah Trash sambil terkekeh dan masuk ke dalam helikopter di belakang ruangan pilot.
Sekitar lima menit setelah entah apa yang dilakukan pilot itu untuk memasukkan kepala ular raksasa tadi ke dalam helikopter, mereka pun kembali terbang. Trash menopang kepalanya dan memejamkan mata.
Trash sudah tidak sabar untuk kembali ke peradaban. Tapi, dia lebih tidak sabar bertemu dengan Sharon. Terutama tidak sabar untuk membuktikan bahwa Trash masih tetap menjadi cinta, pesona, dan perang.
Suara ketukan membuat Trash membuka matanya, “Kau mau aku membuka plat pelindung agar bisa melihat sekolah? kita sudah hampir sampai.”
Trash duduk tegap dan mengayunkan jemarinya membuka plat pelindung dengan kekuatan telekinesisnya membuat sang pilot mengumpat.
“Kau bisa menghancurkan helikopter ini, Bung.”
“Itu yang aku inginkan, Kawan,” jawab Trash terkekeh sebelum mengeluarkan kaca mata hitamnya untuk mengurangi efek silau cahaya matahari di kaca transparan di luar pelindung helikopter. Ia lalu melihat ke bawah – selain baling-baling yang sangat tajam, kecepatan helikopter ini mampu menempuh jarak yang luar biasa jauh. Salah satu perbedaannya dengan helikopter biasa.
Mereka sampai di sekolah hanya dalam hitungan menit, yang jika memakai helikopter biasa bisa menghabiskan waktu hingga satu minggu penuh karena jarak kerajaan Elf sangat jauh dari negeri antah berantah tempat Trash dibuang.
Tampak gedung-gedung besar dengan batu bata merah di tengah rimbunan pepohonan rapat. Areanya terlihat sangat luas walau tidak seluas negeri antah berantah milik trash. Untuk ukuran sekolah, area itu bisa dibilang terlalu luas.
Dari dalam helikopter Trash bisa melihat sepertinya ada sekitar empat gedung yang berbentuk sama dan tiga gedung berbentuk berbeda. Semuanya bertaburan di area luas itu. Di sekelilingnya terlihat pagar beton tinggi berwarna abu-abu gelap yang menandakan batas area sekolah. Ada salah satu sisi perbatasan yang tidak berpagar namun dibatasi dengan sungai lebar yang deras sekali aliran airnya.
Ada lapangan olah raga besar di tengah area dan terlihat murid-murid bergerombol mengenakan baju yang tidak seragam warna dan bentuknya. Sepertinya murid-murid itu sedang latihan olah raga sore ini.
Trash meletakkan jari telunjuk dan jempolnya di kaca lalu menggerakkannya seperti sedang memelintir miniatur manusia mainan. Membuat murid laki-laki yang dijadikan bahan permainan oleh Trash bergelung dan berteriak-teriak di tanah lapang yang jaraknya hampir puluhan meter dari helikopter yang ditumpangi Trash.
Para murid berkerumun untuk memastikan apa yang terjadi pada murid laki-laki itu. Sang pilot menggelengkan kepalanya saat Trash tertawa keras karena puas bermain-main.
Seperti yang semua klan tahu bahwa saat Trash ada di dekat mereka maka tidak akan ada hari normal di sana. Semuanya pasti akan sangat kacau.
Tak lama kemudian helikopter itu turun perlahan di atap sebuah gedung berwarna abu-abu dengan huruf “H” yang tercetak sangat tebal dan besar. Pertanda itulah landasan khusus helikopter.
Setelah baling-baling helikopter sepenuhnya berhenti, pilot membuka pintu untuk Trash dan menyodorkan kepala ular raksasa yang tadi diperintahkan oleh Trash untuk dibawa. Kepala ular itu sudah diikat dengan tali tambang besar yang sebagian sudah berubah warna karena terkena darah ular.
Trash menyandang kepala ular raksasa itu dipundaknya. Ketika Trash sudah keluar dari dalam helikopter, sebelum melangkah dia berbalik.
“Hei, Kawan,” panggil Trash pada sang pilot membuat pilot itu berbalik melihat ke arahnya sebelum sempat masuk kembali ke dalam helikopter.
Trash menggerakkan tangannya dan terdengar suara jeritan logam yang disusul oleh suara ledakan dari belakang sang pilot. Pilot itu terpental akibat kerasnya ledakan dan mendarat di samping Trash.
Pilot itu mencoba melindungi wajahnya dengan lengannya saat kembali terdengar ledakan lalu beberapa kali mengerjap untuk memastikan apa yang dilihatnya. Helikopter itu sudah berbentuk bola logam dan terbakar. Sumpah serapah tidak berhenti terdengar dari mulut sang pilot saat Trash terkekeh dan melanjutkan langkahnya.
“Aku juga senang berkenalan denganmu,” jawab Trash pada sang pilot dengan santai saat membuka sebuah pintu yang memperlihatkan tangga ke bawah. Trash yakin akan membawanya kepada masalah baru.
Trash berjalan dengan santai menuruni tangga dan mendengar suara-suara langkah kaki yang terhenti sebelum kembali senyap. Beberapa murid perempuan yang mulanya akan berjalan melaluinya kini menatap ke arahnya. Kepala ular raksasa masih meneteskan darah di punggungnya.
“Di mana ruangan....”
“Aku akan mengantarmu,” jawab seseorang memotong kata-kata Trash. Suara itu membuat Trash tersenyum samar sebelum berbalik.
Seorang wanita berambut merah disanggul anggun dan mengenakan kemeja biru laut serta rok sedikit di bawah lutut warna biru tua sedang berdiri tidak jauh dari Trash. Wanita itu berbalik dan berjalan menjauh agar Trash mengikutinya.
Beberapa murid perempuan berbisik tapi tak jarang juga mereka melongo melihat penampilan Trash yang tampan. Namun, sungguh di luar batas. Trash kecau balau dengan baju dan celana usang serta belepotan darah.
“Kau kacau, Trash” bisik wanita itu saat Trash berhasil menjajarkan langkahnya di sampingnya.
“Aku juga merindukanmu, Sharon,” jawab Trash mengejek.
Sharon berbalik ke sudut lorong dan membuka sebuah pintu ganda, membiarkan Trash mengikutinya masuk saat seorang pria dengan rambut putih panjang diikat kuncir kuda baru saja meletakkan teleponnya. Pria itu melihat ke arah Trash dengan wajah kesal.
“Kau belum melakukan apa pun untukku tapi Kau sudah menjadikan helikopterku bola golf panggang,” keluh pria itu keluar dari meja kerjanya dan mendekap dua lengannya di depan dada.
Trash melemparkan kepala ular raksasa itu ke depan pria yang sedang bersedekap tenang. Dialah Raja Elf. Trash bersikap tanpa perasaan takut atau hormat sama sekali.
“Oleh-oleh untukmu, Pak Tua. Jangan mengeluh karena sudah lama aku tidak main-main dengan peradaban. Jadi, tidak ada salahnya kan jika aku bersenang-senang?” kata Trash beranjak duduk di sofa sudut ruangan sembari memantul-mantulkan tubuhnya di atas sofa. Berusaha menikmati apa pun yang baru baginya.
“Aku juga mau di kamarku ada kursi empuk seperti ini,” tambah Trash membuat Sharon menghembuskan napas berat.
“Antarkan dia ke kamarnya,” perintah Ambrose, sang Raja Elf, pada Sharon. Sharon membungkuk menerima perintah dan memberikan isyarat pada Trash untuk mengikutinya keluar dari ruangan itu.
“Kau sungguh-sungguh tidak sopan, Trash! Kau tahu Kau tidak akan bisa mengganti helikopter itu?” kata Sharon kesal pada sikap Trash.
“Aku tidak berencana untuk menggantinya jika itu yang ingin Kau tahu,” jawab Trash mengikuti Sharon turun ke lantai satu dari lima lantai gedung itu. Bel berbunyi pertanda murid-murid di dalam gedung harus kembali ke kelas karena pelajaran akan segera dimulai.
Trash mengedarkan pandangan saat beberapa murid perempuan menatapnya seolah Trash adalah hidangan yang sangat lezat. Namun, menimbulkan tatapan tak bersahabat dari para murid pria membuat Trash hanya tertawa geli.
Mereka berdua meninggalkan gedung abu-abu itu dan berjalan memutar melalui halaman sebuah gedung yang juga penuh suara murid-murid yang sudah ada di dalam kelas menuju ke sebuah gedung yang terbuat dari batu bata merah. Gedung itu terdiri atas lima lantai. Gedung yang sangat sepi
“Ini adalah gedung asrama untuk para prajurit terlatih,” jelas Sharon seolah menjawab pertanyaan dibenak Trash.
Sharon tidak menghentikan langkahnya sebelum sampai ke sebuah ruangan berpintu ganda di lantai teratas gedung itu. Sharon lalu membukanya. Sebuah ruangan luas dengan warna merah dan hitam yang mendominasi di setiap dindingnya, sebuah ranjang berukuran king size yang empat tiangnya diukir dengan tangan berdetail sangat rumit, sebuah perapian yang belum menyala, jendela tinggi berkorden beludru halus, serta sebuah bufet berisi penuh minuman anggur dan vodka.
“Kau bisa mandi di sana,” kata Sharon menunjuk ke arah sebuah pintu kaca yang terpisah. Trash melemparkan ranselnya ke arah sofa di sebelah bufet minuman. Hal ini membuat ranselnya menjatuhkan pedang hitamnya.
Ruangan itu sangat tidak modern. Tidak seperti ruangan yang tadi dilihat Trash sedang digunakan oleh Ambrose. Tapi, ini ruangan yang sangat mewah di zamannya dulu. Bahkan, Trash yakin bahwa ruangan itu dulunya pasti ruang tidur Ambrose sebelum pria tua itu mengenal kecanggihan.
“Ya. Well... apa Kau tidak mau tinggal sedikit lebih lama di sini denganku?” tanya Trash sembari mengedip ke arah Sharon membuat Sharon bersandar pada kusen pintu memperhatikan Trash dari atas sampai bawah.
“Aku rasa tidak jika Kau masih berbau amis darah ular. Kau bisa gunakan baju yang ada di dalam lemari. Aku harus pergi karena aku ada jadwal mengajar hari ini. Ingatlah bahwa malam ini kita ada pertemuan di bestmen gedung abu-abu tadi. Pastikan Kau tidak membuat kekacauan nanti malam karena kita tidak punya banyak waktu untuk menemukan Breanna,” kata Sharon sebelum keluar dari kamar itu dan menutup pintu.
Trash tersenyum puas setelah melihat kembali gadis yang disukainya. Sharon sudah semakin dewasa dan cantik setelah terakhir kali mereka bertemu. Sekitar delapan ratus tahun yang lalu.
Sharon adalah Elf tapi dia hanya Elf biasa dan bukan Elf dengan kedudukan yang tinggi. Karena itulah, sepertinya sekarang di sekolah ini dia hanya menjadi guru biasa.
Trash membuka pintu kaca yang ditunjukkan oleh Sharon tadi dan mulai kebingungan saat tak mengerti bagaimana cara menggunakan alat mandinya.
“Aku tahu Kau akan kesal dengan kemajuan zaman setelah hampir delapan ratus tahun diasingkan entah di mana,” kata seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kaca memperhatikan Trash.
“Ah... aku hampir saja lupa bahwa tidak hanya si tua Ambrose yang ada di sini,” kata Trash menyingkir saat Harris mendekat dan menekan tombol merah di dekat rak handuk. Tombol itu membuat air dari sebuah gagang pipih berlubang yang disangkutkan di dinding mengucurkan air beruap.
“Tekan tombol biru jika Kau ingin airnya dingin dan merah jika ingin airnya hangat. Ini namanya shower,” jelas Harris sebelum kembali mematikan tombol itu membuat airnya berhenti mengucur.
“Aku pikir kemodernan tidak bisa menyentuh ruangan ini,” ledek Trash membuat Harris tertawa sinis.
“Kau tidak akan mungkin mengandalkan orang untuk membawakan air hangat jika kamarmu berada di gedung berlantai lima, Bung. Mandilah dan aku ingin bicara,” kata Harris meninggalkan Trash di dalam kamar mandi sebelum mengambil dua gelas kristal bersih dari dalam bufet dan membuka salah satu botol anggur.
Trash membuka bajunya dan mencoba kembali cara yang diajarkan Harris agar bisa mandi dengan air hangat. Sudah sangat lama Trash tidak merasakan mandi senyaman itu. Biasanya dia hanya mandi air dingin yang bisa membekukan manusia. Dan, jangan harap airnya bersih jika kau mengambilnya dari sungai.
Setelah mencoba menciumi semua botol yang berjajar di sebelah rak handuk, Trash memutuskan menggunakan sesuatu yang bisa berbusa dan wangi. Seperti wangi embun yang segar untuk digunakan dikulitnya. Lalu, ia membilasnya. Trash mengenakan handuk yang dililitkan dipinggangnya untuk keluar dari kamar mandi. Tentu saja setelah mematikan sesuatu yang kata Harris bernama shower. Nama yang aneh untuk air hangat dan dingin yang bisa digunakan tanpa perlu repot memanaskan atau mengambilnya dari sungai.
Trash beranjak ke arah lemari yang ditunjukkan oleh Sharon. Lemari itu berisi pakaian yang katanya boleh digunakan Trash. Trash membongkarnya dan mengambil kaos hitam bergambar ukiran rumit berwarna biru di bagian pundak kaos. Juga celana selutut berwarna hitam bersaku banyak. Ia meletakkan baju yang dipilihnya sebelum mengibaskan rambut basahnya. Membuat Harris protes saat air dari rambut Tras membasahi seluruh ruangan.
“Ayolah, Bung. Kau bukan anjing. Jangan lakukan itu,” kata Harris sembari masuk ke kamar mandi dan keluar membawa handuk yang ukurannya lebih kecil dari handuk yang dililitkan di pinggang Trash. Harris lalu melemparkan handuk itu ke kepala Trash.
“Gunakan itu untuk mengeringkan rambutmu.”
Trash menggunakan handuk itu untuk mengeringkan rambutnya. Harris kembali duduk di sofa dan memutar gelas anggur di satu tangannya. Membuat anggur dalam gelasnya membentuk pusaran air.
Harris menyesap anggurnya perlahan sebelum meletakkan gelasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya. Sesuatu itu lalu diletakkannya di atas meja. Trash menghampiri dan mengambil sebuah amplop yang diletakkan Harris di atas meja tadi.
Trash mengeluarkan sebuah foto dari dalam amplop. Seorang wanita berambut pirang gelap panjang mengenakan gaun merah tua sedang tersenyum ke arah kamera. Gadis mungil yang cantik dan sangat mirip dengan Harris.
“Breanna,” jawab Harris seolah tahu apa yang akan ditanyakan Trash.
Trash mengangguk enggan dan kembali meletakkan foto itu di atas meja sebelum kembali mengusap rambut sepundaknya yang masih basah.
“Dari mana Kau tahu bahwa yang menculiknya adalah salah seorang anak Dewa Kematian? Dan kenapa?” pertanyaan Trash membuat wajah Harris berubah serius.
“Ada yang melihatnya dan untuk alasannya aku masih belum tahu karena peraturan busuk yang tidak memperbolehkan siapa pun melewati perbatasan. Maka, kami kesulitan mendapatkan akses masuk untuk mencari Breanna.”
“Tapi, jika adikmu memang ada di sana maka seharusnya kalian tidak perlu bantuanku,” kata Trash membuat Harris tertawa sinis.
“Kau lebih tahu bagaimana liciknya para Dewa Kematian. Mereka akan menyembunyikan Breanna dan menuduh kami memfitnah mereka lalu menjatuhkan hukuman pada kaum kami. Walaupun semua kenyataan memang mengatakan bahwa Breanna ada bersama mereka,” Trash mengangguk menyetujui pendapat Harris tentang kelicikan para Dewa Kematian.
Mereka bahkan tidak segan membunuh siapa pun yang menghalangi langkah licik mereka. Walaupun mereka tahu seseorang itu tidak bersalah. Kebanyakan dari mereka hanya ingin mempertahankan apa yang memang mereka butuhkan tapi setelah mereka tidak membutuhkannya lagi mereka akan mendepakmu.
Trash tidak pernah iba pada bangsa Elf atas kejadian ini karena bangsa Elf juga melakukan hal yang sama padanya. Setelah membuangnya ratusan tahun kini mereka memanggilnya kembali hanya karena Trash bisa melewati perbatasan untuk menemukan Breanna.
“Kau tahu? Sebenarnya aku tidak peduli pada semua ini! Siapa pun yang diculik atau apa pun yang mereka lakukan pada kaummu mungkin memang itu yang pantas kalian dapatkan,” kata Trash tenang sambil meletakkan handuk kecilnya lalu memakai kaosnya.
“Aku akan berikan apa pun padamu untuk menyelamatkan Breanna.”
Trash mengerutkan kening, “kenapa? Bukankah dia bukan adik kandungmu?” tanya Trash membuat Harris menegang.
“Bukan urusanmu, Sampah! Malam ini datanglah ke bestmen karena aku tidak ingin mereka melukai Breanna hanya karena rencana pencarian kami mungkin saja berantakan oleh ulah cerobohmu,” kata Harris sebelum keluar dari kamar dan membanting pintu hingga tertutup.
Trash mengenakan celana selututnya dan mengambil ranselnya yang masih tergeletak di lantai. Ia lalu membawa pedangnya ke kamar mandi untuk membersihkannya dari sisa darah ular raksasa. Walaupun pedang Trash tidak akan pernah bisa patah atau tumpul, tapi Trash tidak terlalu suka bau darah.
Setelah membersihkannya, Trash menggantung pedangnya di balik lemari. Itu kebiasaan Trash untuk menyimpan senjatanya karena yang Trash tahu dia tidak bisa percaya pada siapa pun di sini. Mungkin kecuali Sharon.
Trash tidak sabar ingin segera menyelesaikan misi ini dan membawa Sharon pulang ke pondoknya. Sharon pasti akan suka jika mendengarnya. Tidak perlu ditanya pun Trash tahu Sharon masih menyukainya. Dari cara Sharon memandangnya sebelum keluar dari kamar itu, Trash mampu membaca perasaan Sharon.
“Kali ini aku tidak akan melepaskanmu, Sharon,” ucap Trash memejamkan matanya dan tersenyum tipis.
***

“Terima kasih,” ucap Harris pelan sebelum mengecup punggung tangan Sharon, membuat wajah Sharon memerah.
“Bukan masalah. Aku pasti akan membantu,” jawab Sharon sedikit gugup dan melihat ke sekitar. Takut jika ada yang melihat adegan cium tangan tadi karena Harris adalah pangeran kerajaan Elf dan Sharon hanya Elf biasa.
“Tidak, Sharon. Sungguh bantuanmu sangat berarti untukku. Kau tahu perasaan Trash padamu sangat besar karena itulah dia mau datang saat Kau memintanya. Aku yakin sebentar lagi Breanna akan ditemukan jika Trash memakai kekuatan Ace,” Sharon tersenyum malu-malu dan mengangguk.
“Bagaimana jika Kau mentraktirku makan?” tawar Sharon membuat Harris tersenyum lebar dan mengangguk.
“Setelah Breanna ditemukan,” ucap Harris membuat Sharon menghembuskan napas berat sedikit kesal.
“Kau tidak mau?” tanya Harris melihat respon Sharon yang sedikit kecewa.
“Tidak. Tentu saja aku mau, Harris,” jawab Sharon sebelum Harris kembali mengecup punggung tangannya lembut dan mengucapkan salam perpisahan karena mendengar seseorang mendekat ke lorong tempat mereka diam-diam bertemu.
Ketika Harris sudah menghilang di tikungan tangga turun ke bawah, Sharon memegang dadanya yang berdebar sangat keras. Ia memekik pelan karena senang.
“Apa yang terjadi?” tanya seseorang membuat Sharon berpaling dan melihat Trash dari atas sampai bawah kemudian berdecak.
“Bukan urusanmu, Tuan Pesona,” goda Sharon saat menyadari seberantakan apa pun, Trash tetap sangat tampan dan memesona. Apalagi dengan pakaian yang kini dikenakannya.
Mungkin jika Harris yang mengenakan kaos dan celana pendek yang dikenakan Trash saat ini tidak akan membuat kaos itu terlihat bagus. Tapi, karena Trash yang memakainya, rasanya terlihat seperti kaos mahal dan bermerk. Seolah Trash memang terlahir menjadi seorang model.
Trash menyapukan pandangannya ke setiap jengkal tubuh Sharon yang terbalut pakaian formalnya untuk mengajar.
“Apa sudah ada yang mengatakan padamu bahwa Kau cantik?” goda Trash membuat Sharon mengibaskan tangannya tak acuh tak menanggapi. Sharon berjalan menyusuri lorong. Trash mengikutinya dan tersenyum melihat pinggul Sharon yang bergoyang seirama dengan setiap langkah kakinya.
“Aku rela selamanya menjadi murid abadi jika bisa melihat guru seseksi Kau tiap harinya,” kata Trash membuat Sharon menghentikan langkahnya dan berbalik.
“Tidak bisakah jangan mengganggu pekerjaanku, Tuan Pesona? Kau tahu aku tidak bisa berkonsentrasi saat di dekatmu. Gunakan waktumu untuk melihat-lihat di sekitar sini dan berusahalah tidak membunuh siapa pun,” kata Sharon sebelum masuk ke dalam ruang kelas yang seluruhnya berisi murid perempuan. Mereka berbisik ribut saat Trash mengedip pada Sharon dan beranjak dari sana.
Sharon merapikan rambut dan bajunya dengan gugup setelah Trash menghilang dari depan pintu kelas. Sejujurnya Sharon juga senang saat tahu Trash masih menyukainya.
Harris dan Trash adalah dua laki-laki yang amat berbeda. Sekarang Sharon lebih memilih untuk lebih merespon Harris walaupun saat bersamanya juga mendebarkan. Tapi, bukan debaran cinta melainkan debar tantangan. Seorang Elf biasa bisa membuat seorang pangeran Elf bertekuk lutut tentu akan sangat membuat bangga.
Sedangkan saat bersama Trash adalah saat tersulit karena wanita mana pun tidak akan bisa menahan air liur mereka jika berada di dekat Trash. Sharon adalah wanita beruntung yang bisa menjinakkan Trash.
“Baiklah, bisakah kita mulai pelajaran hari ini?” tanya Sharon di depan kelas berusaha mendapatkan perhatian dari murid-murid yang masih saling berbisik.
Sharon melihat ke arah salah seorang murid yang mengangkat tangannya, “boleh kami tahu siapa laki-laki tadi? Guru tambahan atau salah seorang murid baru?” tanya murid yang Sharon tahu bernama Tana.
“Dia...” kata Sharon menggantung berusaha mencari jawaban yang tepat, “ehm... dia adalah salah seorang sukarelawan yang akan membantu pencarian Breanna,” jawab Sharon sebelum Tana mengangkat tangannya lagi.
“Dari mana dia berasal dan siapa namanya?”
“Aku tidak tahu dia tinggal di mana. Namanya Trash dan aku rasa kita akhiri saja sesi tanya jawab ini karena tidak ada hubungannya dengan pelajaranku,” kata Sharon sedikit tidak sabar namun sekali lagi Tana mengangkat tangannya
“Lalu... apa hubungan kalian?” tanya Tana membuat Sharon membuka mulutnya hampir menjawab namun segera dikatupkannya lagi bibirnya yang tipis sebelum seorang murid laki-laki membuka pintu kelas dengan sangat keras dan berteriak.
“Ada iblis... selamatkan diri kalian....”
Serentak seluruh murid yang ada di dalam kelas Sharon bangkit berdiri dan menghambur keluar kelas. Di lorong-lorong depan kelas sudah ramai murid-murid berlarian panik dan tak sedikit juga yang bertabrakan lalu terhuyung-huyung.
Beberapa murid laki-laki berlarian keluar dari gedung sekolah dan masuk ke dalam lapangan basket. Sharon mengikuti mereka untuk memastikan apa yang terjadi.
Langkah Sharon terhenti saat beberapa petugas kesehatan terlihat menggotong seorang murid laki-laki berseragam olahraga keluar dari lapangan basket. Murid laki-laki itu mengalami memar-memar dan luka terbuka di wajah dan sekujur tubuhnya.
Beberapa murid laki-laki juga memapah teman-temannya yang terluka lebih ringan.
Jika ada iblis menyusup masuk ke dalam sekolah seharusnya Ambrose akan turun tangan. Tapi, ke mana semua dewan?
“Apa yang terjadi?” tanya Sharon menghentikan langkah salah seorang petugas medis yang akan kembali masuk ke dalam lapangan basket.
“Seorang iblis membuat kekacauan tapi sudah diamankan oleh pangeran Harris di kantor kepala sekolah,” jawabnya sembari menggelengkan kepala seolah tidak percaya semua itu terjadi.
Sharon meninggalkan lapangan basket dan berlari menuju kantor kepala sekolah. Ia membuka pintu dengan kasar tanpa mengetuk pintu, membuat semua orang di ruangan itu melihat ke arahnya.
Harris berdiri bersandar pada meja kepala sekolah. Trash duduk di depannya sambil makan permen batang. Ambrose duduk di sofa memijat pelipisnya. Pandangan itu membuat Sharon terpaku sejenak di depan pintu saat menyadari sesuatu.
Mata merah Trash, rambut hitam, dan aura yang mengintimidasi. Trashlah iblis itu.
“Cobalah tidak ikut campur,” perintah Ambrose melambaikan jarinya. Menyuruh Sharon keluar dari dalam ruangannya. Sharon mengangguk dan sedikit membungkuk sebelum keluar dari ruangan itu.
Sharon masih mencengkeram kenop pintu berusaha menahan kekesalannya. Bukan karena sikap Trash yang membuat kekacauan tapi karena sikap Ambrose yang tidak pernah menganggap Sharon lebih dari Elf rendahan, seorang pesuruh. Yang lebih menyebalkan lagi, Harris melihat ayahnya bersikap kasar mengusir Sharon tapi dia hanya diam saja tanpa membelanya.
Kini Sharon tahu bagaimana rasanya menjadi Trash. Seseorang yang dibuang lalu dipungut sesuka hati jika mereka butuhkan. Trash yang menyedihkan. Anak malang.
***

ACE IS ICE, halaman 3 - 26

Tunas Puitika

Penerbit Indie di Semarang Menerima Segala Jenis Naskah Baik Fiksi maupun Nonfiksi

0 comments:

Post a Comment

Kami Tunggu Tanggapan Sahabat Tunas :)