“Bagaimana? Apa Kau
menerima tawaranku?” tanya Harris dari seberang telepon membuat Trash duduk di kursi
dalam rumahnya sebelum menyulut rokoknya. Tak menanggapi tawaran Harris.
Trash mengedarkan
pandangan ke seluruh sudut untuk membandingkan keuntungan yang akan didapatnya
andai saja dia menerima tawaran Harris.
Sebuah ranjang
kecil pendek yang hanya dialasi kasur tipis setua seprei yang terpasang di atasnya,
lemari buku yang hampir menutupi sepanjang dinding samping jendela, perapian
yang hanya sesekali dipakainya, dan sebuah kursi – memang hanya itu satu-satunya
kursi yang ada di dalam rumah Trash – sangat reyot yang Trash yakini akan patah
jika ia duduki tiga kali lagi. Hanya itu barang milik Trash di rumah pondoknya
dalam pengasingannya selama ini.
Bukan karena Trash
orang miskin tapi karena dia tidak ingin membuang tenaga untuk membuat rumah
yang lebih besar. Dia yakin tidak akan ada tamu yang datang ke rumahnya. Tidak juga
teman-temannya – Trash memang tidak punya teman kecuali Eloisa Frost.
Seperti namanya, Trash
adalah sampah bagi kebanyakan orang yang mengenalnya. Alasannya tidak masuk
akal, karena Trash adalah pesona, cinta, dan perang.
Teman-temannya
mengirimnya ke negeri antah berantah yang tak berpenghuni – manusia. Mereka
ingin Trash mati di sana hanya karena Trash sering membuat kekacauan kecil.
Sebenarnya tak bisa disebut kecil karena membuat para wanita bahkan rela saling
membunuh untuk mendapatkannya. Sering pula memicu perang hanya untuk bersenang-senang
– bagi Trash hal itu memang hanya sekadar main-main. Selera humor merekalah
yang perlu diperbaiki.
“Pikirkan lagi, Trash.
Jika Kau tidak menerima tawaranku entah kapan lagi Kau punya alasan untuk
keluar dari sana,” ucap Harris lagi, membuat Trash terkekeh.
“Apa Kau pikir
tawaranmu sangat mempengaruhiku? Jika Kau pikir aku tidak memenuhi syarat yang
sangat sempurna untuk pekerjaan ini, kenapa Kau meneleponku, Pecundang? Memohonlah
padaku gadis manis,” kata Trash mencemooh dengan santai membuat Harris
mengumpat di seberang telepon.
“Oke. Baiklah. Kau
memang tidak pernah terpengaruh ya, Sampah,” Trash terkekeh mendengar amarah
dalam nada bicara Harris.
“Bukan begitu
caranya memohon dan aku sudah cukup ramah mau mengangkat telepon tidak penting
darimu,” kata Trash sebelum Harris mematikan ponselnya.
Ponsel yang
digunakan Trash dan kaum Elf seperti Harris memang berbeda dengan ponsel
manusia pada umumnya. Ponsel tanpa radiasi dan gelombang frekuensi. Bahkan mereka
bisa menggunakannya di perut bumi sekalipun. Yang dibutuhkan untuk
memfungsikannya hanya pikiran mereka.
Trash melemparkan
ponselnya ke atas ranjang sebelum menghisap habis rokoknya. Rokok yang
dibuatnya sendiri dari perkebunan tembakau di belakang rumah kecilnya.
Pohon-pohon tembakau yang ditanam sendiri oleh Trash untuk kebutuhan rokoknya
sepanjang keabadian.
Bisa dibilang
semua tumbuhan dan hewan dapat hidup di negeri antah berantah itu, tanpa
terkecuali. Beberapa hewan yang sulit ditemukan di negeri lain dan hanya bisa
dijumpai di negeri tertentu pun sudah dilihat Trash di sini. Ikan Piranha, Komodo
raksasa, dan ular besar Anakonda sudah bukan hal baru lagi bagi Trash.
Sesekali Trash
harus memakan gajah atau apa pun yang ditemukannya jika dia terdesak untuk
mengobati rasa laparnya dan tidak menemukan hewan lain untuk diburu.
Trash mengusap
rahangnya yang sudah ditumbuhi cambang sebelum memikirkan kembali apa yang
dikatakan Harris tadi.
“Di sini sedang ada masalah. Adikku Breanna diculik oleh
salah seorang anak Dewa Kematian dan kami belum menemukannya hingga delapan
bulan ini. Apa Kau mau menerima tawaranku untuk mencarinya? Membantu pengawal-pengawal
ayah? Sharon juga akan membantu.”
“Sharon...” ucap Trash
perlahan sembari memejamkan mata. Mencoba menghadirkan kembali kenangan delapan
ratus tahun yang lalu.
Sharon adalah
orang yang Trash sukai. Bahkan tangan Trash masih saja terus gemetar jika mendengar
nama itu. Trash masih sangat menginginkan wanita itu. Wanita tercantik yang
pernah Trash temui, dengan rambut merah gelap ikal sepanjang bahu yang mempercantik
wajah cerianya. Trash seolah masih sangat mengingat bagaimana suara tawa wanita
yang serak dan merdu itu.
Suara ponselnya
membuat Trash membuka matanya dan mengumpat. Dia mengambil ponselnya untuk sejenak
menghapus kenangan tentang Sharon yang begitu memesona.
Tangan Trash
gemetar saat melihat nama yang tertera. Sharon menghubunginya. Sepertinya Harris
tidak membuang waktu dan segera meminta Sharon untuk membujuknya agar mau
membantu mencari adik Harris saat Trash menolak.
“Mati Kau, Harris. Pecundang menyedihkan!”
“Trash... Kaukah
yang menerima teleponnya?” tanya suara dari seberang. Walaupun Trash sangat
merindukan suara itu tapi tak bisa membuat Trash berhasil untuk tidak memutar
bola matanya mendengar pertanyaannya.
“Tentu saja. Aku hanya
punya tetangga ikan Piranha jika Kau ingin tahu kabarku!” jawab Trash membuat Sharon
tertawa sama persis seperti yang baru saja Trash bayangkan. Serak dan merdu.
“Kau tidak
berubah. Tetap kasar dan tidak tahu sopan santun,” kata Sharon membuat Trash
menegang.
“Tidak! Aku berubah!”
jawab Trash dingin.
“Ya, well. Terserah Kau saja. Baru saja Harris
meneleponku dan mengatakan bahwa Kau menolak tugas ini.”
“Aku bukan milik
siapa-siapa, Sharon. Ini bukan tugasku! Jika dia membutuhkan pertolonganku maka
dia harus memohon,” kata Trash menekankan kata ‘membutuhkan pertolongan’
membuat Sharon menghembuskan napas berat.
“Trash... kurangi
harga dirimu. Kau ingat Harris adalah anak dewan yang memegang keputusan
terpenting kaum kita? Jadi, mungkin saja dia bisa membujuk ayahnya untuk
membebaskanmu dari sana jika Kau bersedia membantunya.”
Trash tertawa sinis,
“ah... terima kasih sudah
mengingatkanku soal itu dan itu juga mengingatkanku bahwa sampah yang sudah
dibuang bisa menyerangmu jika Kau bermaksud mempermainkannya! Aku tidak butuh
semua itu, Sharon. Kau tahu bahkan aku tidak peduli apa pun yang akan mereka
lakukan padaku. Satu lagi yang sepertinya Kau lupakan. Aku bukan kaummu, Elf.
Aku mutan.”
Sharon menghembuskan
napas putus asa, “aku tidak menyangka Kau benar-benar sudah menganggap dirimu
sendiri sampah. Kau seperti pecundang sejati, Trash! Aku kira Kau adalah perang
tapi ternyata waktu sudah memengaruhi keberanianmu,” kata Sharon mengakhiri
percakapan mereka.
Trash menggenggam
ponselnya erat, membuat buku-buku tangannya memutih sebelum Trash mengendurkan genggamannya
karena Trash yakin dia akan menghancurkan ponsel itu jika tidak menguasai amarahnya.
Jika kata-kata itu
diucapkan oleh Harris maka Trash tidak akan peduli. Tapi, Sharon yang
mengatakannya. Seseorang yang dulu selalu mengatakan bahwa Trash adalah pesona,
cinta, dan perang.
Trash memang seorang
mutan. Dia tidak sepenuhnya iblis kematian tapi dirinya juga dewa kehidupan dan
tidak ada yang bisa membunuhnya. Karena itu, tidak ada yang benar-benar mampu
menekannya walaupun sejak kecil Trash sudah menjadi pesuruh bangsa Elf sampai
pada titik mereka tidak lagi menganggap Trash berguna. Mereka mengasingkan
Trash hanya karena mereka takut Trash tidak mampu lagi dikendalikan oleh mereka
dan tak menganggap penting masa pengabdiannya selama ribuan tahun yang lalu.
Trash tidak pernah
peduli pada apa pun yang dikatakan bangsa Elf tapi dia peduli pada kata-kata Sharon.
Trash menelepon Harris dan mendapat dengusan sinis dari Harris.
“Bagaimana, Sampah?
Aku tidak sia-sia kan meminta Sharon meneleponmu?”
“Aku tidak ingin
kebebasan sebagai imbalanku,” jawab Trash.
“Tentu saja. Aku akan
memberi pertukaran yang layak! Kau bisa meminta apa pun atau siapa pun,” jawab
Harris menekankan kata ‘siapa pun’ yang Trash yakini telah diketahui Harris bahwa
yang diinginkan Trash hanya Sharon.
“Kirimkan aku
helikopter dan pastikan aku mendapat fasilitas terbaik.”
“Pasti!”
***
“Jangan main-main
denganku, Boy. Aku sedang tidak bersemangat untuk bersenang-senang,” kata Trash
mendengus melihat seekor ular Boa sudah berbaring di depan pintu pondok
kecilnya dan segera mengangkat kepala besarnya saat melihat pintu depan rumah Trash
berayun terbuka.
Suara helikopter
yang dari tadi berkeliling di atas atap rumah pondok Trash masih terdengar
seolah pilotnya kebingungan akan menurunkan helikopter itu di mana untuk
menjemput Trash. Tidak ada tempat yang aman di sekitar sana. Semua sudut penuh dengan
hewan-hewan buas yang berkeliaran di sekitar pondok.
“Tetaplah mengudara
atau Kau dan aku tidak akan bisa keluar dari sini,” teriak Trash pada pilot
helikopter di tengah kebisingan baling-baling helikopter yang menggoyangkan
semua dahan pohon di sekelilingnya.
Suara manusia
biasa tidak akan terdengar di tengah deru baling-baling helikopter yang sudah
mendarat. Namun, itulah salah satu keunggulan Trash. Suaranya bahkan bisa
didengar oleh pilot saat helikopter masih mengudara.
Trash mengeluarkan
sebuah pedang hitam panjang dari dalam ransel kumuhnya sebelum meletakkan
ransel itu di dekat kakinya dan melangkah mendekati Ular boa yang kini mulai
mendesis mendekatinya dengan kecepatan yang bisa dibilang cepat untuk ukuran Boa
sebesar tiga kali lipat tubuh Trash yang besar.
Trash berlari dengan
sigap sebelum melompat di atas kepala Boa yang menganga siap menelan Trash hidup-hidup.
Ia mendarat di atas tubuh licin bersisik Boa itu lalu menancapkan pedangnya di tubuh
menggeliat yang berusaha menjatuhkan Trash dari atas tubuhnya. Trash melompat
turun dari atas tubuh Boa yang masih menggeliat kesakitan dan bergelung di atas
dedaunan kering untuk menghindari gigitan Boa yang akhirnya melukai tubuh
pemilik taring itu sendiri. Membuat ular itu menggeliat tak terkendali karena
marah.
Memang ular-ular
besar seperti Boa tidak memiliki racun di taring mereka. Tapi, efek lukanya pasti
akan sangat parah dan saat kau terluka lalu terbelit dalam tubuh besar ular itu,
maka tulang-tulang di tubuhmu akan dihancurkan seketika. Jelas itu bukan yang diinginkan
Trash saat ini.
Trash kembali
berdiri dan melompati tubuh ular yang masih belum menyerah oleh racun paling
mematikan dari pedang Trash. Trash duduk di atas tubuh besar ular itu sebelum
memutar dengan sekuat tenaga pedangnya. Lalu, dia menarik pedangnya.
Menciptakan lubang menganga di bekas luka tusuk tubuh sang ular. Membuat ular
itu menggelepar dan menyerang Trash dengan mulut menganganya sebelum ditahan
oleh Trash menggunakan pedangnya. Membelah mulut Boa itu karena pedang milik Trash
tajam luar biasa.
Boa itu jatuh ke tanah.
Menimbulkan suara gedebum keras dan menggeliat perlahan sebelum benar-benar
diam dengan sorot mata kebencian memandang Trash. Tapi, Trash tahu ular itu
sudah mati.
Trash mendekati
tubuh ular itu. Menahan kepala ular itu menggunakan satu kakinya lalu memenggal
kepala ular itu untuk oleh-oleh raja Elf agar pria itu tahu tidak ada yang bisa
menjadikan Trash pesuruh lagi setelah ratusan tahun mereka mengasingkan Trash.
Mungkin awalnya
mereka berharap Trash akan mati melawan semua hewan-hewan buas itu. Tapi, Trash
senang karena mereka akan kecewa saat tahu kemampuan Trash berburu justru semakin
meningkat ratusan tahun ini. Bahkan, Trash punya peliharaan beberapa ekor ikan Piranha
di kolam ikan belakang rumahnya.
“Turunlah,”
perintah Trash pada pilot helikopter sebelum suara helikopter di atas rumah
pondok Trash mendekat.
Helikopter hitam
itu perlahan turun dan memangkas pohon-pohon yang menghalangi pendaratannya. Membuat
semua potongan pohon berhamburan. Tidak sedikit juga yang menimpa rumah Trash. Membuat
separuh rumahnya hancur. Baling-baling helikopter itu juga tidak kalah tajam
dengan pedang Trash. Seingat Trash helikopter dengan kemampuan seperti itu
adalah milik raja Elf.
Jika kalian
berharap kerajaan Elf yang ditinggali oleh keluarga Harris adalah kerajaan yang
masih memakai pakaian kerajaan yang membosankan dan menggunakan kendaraan kuno,
maka kalian salah karena mereka memiliki hampir semua kendaraan tempur
tercanggih serta pakaian modern. Tidak seperti kerajaan Orla di hutan ilusi.
Mereka memiliki
sekolah modern khusus untuk anak-anak Elf yang tidak hanya mengajarkan teknik
perang atau menggunakan sihir. Tapi, juga pelajaran di sekolah biasa karena
mereka menyamarkan dunia mereka dengan dunia manusia. Mereka bahkan punya rapor
pelajaran matematika atau semacamnya. Itu yang selama ini diketahui Trash.
Sangat konyol. Trash
memungut kembali ranselnya sebelum mengganti bajunya yang berlumuran darah ular
dengan kaos yang masih bersih.
“Aku harap rajamu
punya pekerja yang akan memperbaiki rumahku,” kata Trash membuat pilot itu
menelan ludah saat sadar dia sudah meruntuhkan sebagian pondok Trash.
“Maafkan aku. Ini salah
satu fasilitas yang dikirim pangeran Harris. Tapi, aku tidak tahu jika ini akan
membuat rumahmu runtuh.”
Trash melambaikan
tangannya tak mau mendengar alasan, “cepat bawa kepala ular itu masuk ke dalam
helikopter. Oleh-oleh yang aku rasa akan sangat membuat rajamu bahagia,”
perintah Trash sambil terkekeh dan masuk ke dalam helikopter di belakang
ruangan pilot.
Sekitar lima menit
setelah entah apa yang dilakukan pilot itu untuk memasukkan kepala ular raksasa
tadi ke dalam helikopter, mereka pun kembali terbang. Trash menopang kepalanya
dan memejamkan mata.
Trash sudah tidak
sabar untuk kembali ke peradaban. Tapi, dia lebih tidak sabar bertemu dengan Sharon.
Terutama tidak sabar untuk membuktikan bahwa Trash masih tetap menjadi cinta,
pesona, dan perang.
Suara ketukan
membuat Trash membuka matanya, “Kau mau aku membuka plat pelindung agar bisa
melihat sekolah? kita sudah hampir sampai.”
Trash duduk tegap
dan mengayunkan jemarinya membuka plat pelindung dengan kekuatan telekinesisnya
membuat sang pilot mengumpat.
“Kau bisa menghancurkan
helikopter ini, Bung.”
“Itu yang aku
inginkan, Kawan,” jawab Trash terkekeh sebelum mengeluarkan kaca mata hitamnya untuk
mengurangi efek silau cahaya matahari di kaca transparan di luar pelindung
helikopter. Ia lalu melihat ke bawah – selain baling-baling yang sangat tajam,
kecepatan helikopter ini mampu menempuh jarak yang luar biasa jauh. Salah satu
perbedaannya dengan helikopter biasa.
Mereka sampai di sekolah
hanya dalam hitungan menit, yang jika memakai helikopter biasa bisa
menghabiskan waktu hingga satu minggu penuh karena jarak kerajaan Elf sangat
jauh dari negeri antah berantah tempat Trash dibuang.
Tampak gedung-gedung
besar dengan batu bata merah di tengah rimbunan pepohonan rapat. Areanya terlihat
sangat luas walau tidak seluas negeri antah berantah milik trash. Untuk ukuran
sekolah, area itu bisa dibilang terlalu luas.
Dari dalam helikopter
Trash bisa melihat sepertinya ada sekitar empat gedung yang berbentuk sama dan
tiga gedung berbentuk berbeda. Semuanya bertaburan di area luas itu. Di
sekelilingnya terlihat pagar beton tinggi berwarna abu-abu gelap yang
menandakan batas area sekolah. Ada salah satu sisi perbatasan yang tidak
berpagar namun dibatasi dengan sungai lebar yang deras sekali aliran airnya.
Ada lapangan olah
raga besar di tengah area dan terlihat murid-murid bergerombol mengenakan baju
yang tidak seragam warna dan bentuknya. Sepertinya murid-murid itu sedang latihan
olah raga sore ini.
Trash meletakkan
jari telunjuk dan jempolnya di kaca lalu menggerakkannya seperti sedang
memelintir miniatur manusia mainan. Membuat murid laki-laki yang dijadikan
bahan permainan oleh Trash bergelung dan berteriak-teriak di tanah lapang yang
jaraknya hampir puluhan meter dari helikopter yang ditumpangi Trash.
Para murid
berkerumun untuk memastikan apa yang terjadi pada murid laki-laki itu. Sang pilot
menggelengkan kepalanya saat Trash tertawa keras karena puas bermain-main.
Seperti yang semua
klan tahu bahwa saat Trash ada di dekat mereka maka tidak akan ada hari normal
di sana. Semuanya pasti akan sangat kacau.
Tak lama kemudian
helikopter itu turun perlahan di atap sebuah gedung berwarna abu-abu dengan huruf
“H” yang tercetak sangat tebal dan besar. Pertanda itulah landasan khusus
helikopter.
Setelah
baling-baling helikopter sepenuhnya berhenti, pilot membuka pintu untuk Trash
dan menyodorkan kepala ular raksasa yang tadi diperintahkan oleh Trash untuk dibawa.
Kepala ular itu sudah diikat dengan tali tambang besar yang sebagian sudah
berubah warna karena terkena darah ular.
Trash menyandang
kepala ular raksasa itu dipundaknya. Ketika Trash sudah keluar dari dalam
helikopter, sebelum melangkah dia berbalik.
“Hei, Kawan,”
panggil Trash pada sang pilot membuat pilot itu berbalik melihat ke arahnya
sebelum sempat masuk kembali ke dalam helikopter.
Trash menggerakkan
tangannya dan terdengar suara jeritan logam yang disusul oleh suara ledakan
dari belakang sang pilot. Pilot itu terpental akibat kerasnya ledakan dan mendarat
di samping Trash.
Pilot itu mencoba
melindungi wajahnya dengan lengannya saat kembali terdengar ledakan lalu
beberapa kali mengerjap untuk memastikan apa yang dilihatnya. Helikopter itu
sudah berbentuk bola logam dan terbakar. Sumpah serapah tidak berhenti terdengar
dari mulut sang pilot saat Trash terkekeh dan melanjutkan langkahnya.
“Aku juga senang
berkenalan denganmu,” jawab Trash pada sang pilot dengan santai saat membuka
sebuah pintu yang memperlihatkan tangga ke bawah. Trash yakin akan membawanya
kepada masalah baru.
Trash berjalan
dengan santai menuruni tangga dan mendengar suara-suara langkah kaki yang
terhenti sebelum kembali senyap. Beberapa murid perempuan yang mulanya akan
berjalan melaluinya kini menatap ke arahnya. Kepala ular raksasa masih meneteskan
darah di punggungnya.
“Di mana ruangan....”
“Aku akan
mengantarmu,” jawab seseorang memotong kata-kata Trash. Suara itu membuat Trash
tersenyum samar sebelum berbalik.
Seorang wanita
berambut merah disanggul anggun dan mengenakan kemeja biru laut serta rok
sedikit di bawah lutut warna biru tua sedang berdiri tidak jauh dari Trash. Wanita
itu berbalik dan berjalan menjauh agar Trash mengikutinya.
Beberapa murid
perempuan berbisik tapi tak jarang juga mereka melongo melihat penampilan Trash
yang tampan. Namun, sungguh di luar batas. Trash kecau balau dengan baju dan
celana usang serta belepotan darah.
“Kau kacau, Trash”
bisik wanita itu saat Trash berhasil menjajarkan langkahnya di sampingnya.
“Aku juga
merindukanmu, Sharon,” jawab Trash mengejek.
Sharon berbalik ke
sudut lorong dan membuka sebuah pintu ganda, membiarkan Trash mengikutinya
masuk saat seorang pria dengan rambut putih panjang diikat kuncir kuda baru
saja meletakkan teleponnya. Pria itu melihat ke arah Trash dengan wajah kesal.
“Kau belum
melakukan apa pun untukku tapi Kau sudah menjadikan helikopterku bola golf
panggang,” keluh pria itu keluar dari meja kerjanya dan mendekap dua lengannya
di depan dada.
Trash melemparkan
kepala ular raksasa itu ke depan pria yang sedang bersedekap tenang. Dialah
Raja Elf. Trash bersikap tanpa perasaan takut atau hormat sama sekali.
“Oleh-oleh untukmu,
Pak Tua. Jangan mengeluh karena sudah lama aku tidak main-main dengan peradaban.
Jadi, tidak ada salahnya kan jika aku bersenang-senang?” kata Trash beranjak
duduk di sofa sudut ruangan sembari memantul-mantulkan tubuhnya di atas sofa. Berusaha
menikmati apa pun yang baru baginya.
“Aku juga mau di kamarku
ada kursi empuk seperti ini,” tambah Trash membuat Sharon menghembuskan napas
berat.
“Antarkan dia ke kamarnya,”
perintah Ambrose, sang Raja Elf, pada Sharon. Sharon membungkuk menerima perintah
dan memberikan isyarat pada Trash untuk mengikutinya keluar dari ruangan itu.
“Kau sungguh-sungguh
tidak sopan, Trash! Kau tahu Kau tidak akan bisa mengganti helikopter itu?”
kata Sharon kesal pada sikap Trash.
“Aku tidak
berencana untuk menggantinya jika itu yang ingin Kau tahu,” jawab Trash
mengikuti Sharon turun ke lantai satu dari lima lantai gedung itu. Bel berbunyi
pertanda murid-murid di dalam gedung harus kembali ke kelas karena pelajaran
akan segera dimulai.
Trash mengedarkan
pandangan saat beberapa murid perempuan menatapnya seolah Trash adalah hidangan
yang sangat lezat. Namun, menimbulkan tatapan tak bersahabat dari para murid
pria membuat Trash hanya tertawa geli.
Mereka berdua meninggalkan
gedung abu-abu itu dan berjalan memutar melalui halaman sebuah gedung yang juga
penuh suara murid-murid yang sudah ada di dalam kelas menuju ke sebuah gedung
yang terbuat dari batu bata merah. Gedung itu terdiri atas lima lantai. Gedung yang
sangat sepi
“Ini adalah gedung
asrama untuk para prajurit terlatih,” jelas Sharon seolah menjawab pertanyaan
dibenak Trash.
Sharon tidak
menghentikan langkahnya sebelum sampai ke sebuah ruangan berpintu ganda di lantai
teratas gedung itu. Sharon lalu membukanya. Sebuah ruangan luas dengan warna
merah dan hitam yang mendominasi di setiap dindingnya, sebuah ranjang berukuran
king size yang empat tiangnya diukir
dengan tangan berdetail sangat rumit, sebuah perapian yang belum menyala, jendela
tinggi berkorden beludru halus, serta sebuah bufet berisi penuh minuman anggur
dan vodka.
“Kau bisa mandi di
sana,” kata Sharon menunjuk ke arah sebuah pintu kaca yang terpisah. Trash
melemparkan ranselnya ke arah sofa di sebelah bufet minuman. Hal ini membuat
ranselnya menjatuhkan pedang hitamnya.
Ruangan itu sangat
tidak modern. Tidak seperti ruangan yang tadi dilihat Trash sedang digunakan
oleh Ambrose. Tapi, ini ruangan yang sangat mewah di zamannya dulu. Bahkan, Trash
yakin bahwa ruangan itu dulunya pasti ruang tidur Ambrose sebelum pria tua itu
mengenal kecanggihan.
“Ya. Well... apa Kau tidak mau tinggal
sedikit lebih lama di sini denganku?” tanya Trash sembari mengedip ke arah
Sharon membuat Sharon bersandar pada kusen pintu memperhatikan Trash dari atas
sampai bawah.
“Aku rasa tidak
jika Kau masih berbau amis darah ular. Kau bisa gunakan baju yang ada di dalam
lemari. Aku harus pergi karena aku ada jadwal mengajar hari ini. Ingatlah bahwa
malam ini kita ada pertemuan di bestmen
gedung abu-abu tadi. Pastikan Kau tidak membuat kekacauan nanti malam karena
kita tidak punya banyak waktu untuk menemukan Breanna,” kata Sharon sebelum
keluar dari kamar itu dan menutup pintu.
Trash tersenyum
puas setelah melihat kembali gadis yang disukainya. Sharon sudah semakin dewasa
dan cantik setelah terakhir kali mereka bertemu. Sekitar delapan ratus tahun
yang lalu.
Sharon adalah Elf tapi
dia hanya Elf biasa dan bukan Elf dengan kedudukan yang tinggi. Karena itulah,
sepertinya sekarang di sekolah ini dia hanya menjadi guru biasa.
Trash membuka pintu
kaca yang ditunjukkan oleh Sharon tadi dan mulai kebingungan saat tak mengerti
bagaimana cara menggunakan alat mandinya.
“Aku tahu Kau akan
kesal dengan kemajuan zaman setelah hampir delapan ratus tahun diasingkan entah
di mana,” kata seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kaca
memperhatikan Trash.
“Ah... aku hampir saja lupa bahwa
tidak hanya si tua Ambrose yang ada di sini,” kata Trash menyingkir saat Harris
mendekat dan menekan tombol merah di dekat rak handuk. Tombol itu membuat air
dari sebuah gagang pipih berlubang yang disangkutkan di dinding mengucurkan air
beruap.
“Tekan tombol biru
jika Kau ingin airnya dingin dan merah jika ingin airnya hangat. Ini namanya shower,” jelas Harris sebelum kembali
mematikan tombol itu membuat airnya berhenti mengucur.
“Aku pikir
kemodernan tidak bisa menyentuh ruangan ini,” ledek Trash membuat Harris
tertawa sinis.
“Kau tidak akan mungkin
mengandalkan orang untuk membawakan air hangat jika kamarmu berada di gedung
berlantai lima, Bung. Mandilah dan aku ingin bicara,” kata Harris meninggalkan
Trash di dalam kamar mandi sebelum mengambil dua gelas kristal bersih dari
dalam bufet dan membuka salah satu botol anggur.
Trash membuka
bajunya dan mencoba kembali cara yang diajarkan Harris agar bisa mandi dengan
air hangat. Sudah sangat lama Trash tidak merasakan mandi senyaman itu. Biasanya
dia hanya mandi air dingin yang bisa membekukan manusia. Dan, jangan harap
airnya bersih jika kau mengambilnya dari sungai.
Setelah mencoba
menciumi semua botol yang berjajar di sebelah rak handuk, Trash memutuskan
menggunakan sesuatu yang bisa berbusa dan wangi. Seperti wangi embun yang segar
untuk digunakan dikulitnya. Lalu, ia membilasnya. Trash mengenakan handuk yang
dililitkan dipinggangnya untuk keluar dari kamar mandi. Tentu saja setelah
mematikan sesuatu yang kata Harris bernama shower.
Nama yang aneh untuk air hangat dan dingin yang bisa digunakan tanpa perlu
repot memanaskan atau mengambilnya dari sungai.
Trash beranjak ke arah
lemari yang ditunjukkan oleh Sharon. Lemari itu berisi pakaian yang katanya
boleh digunakan Trash. Trash membongkarnya dan mengambil kaos hitam bergambar
ukiran rumit berwarna biru di bagian pundak kaos. Juga celana selutut berwarna
hitam bersaku banyak. Ia meletakkan baju yang dipilihnya sebelum mengibaskan
rambut basahnya. Membuat Harris protes saat air dari rambut Tras membasahi
seluruh ruangan.
“Ayolah, Bung. Kau
bukan anjing. Jangan lakukan itu,” kata Harris sembari masuk ke kamar mandi dan
keluar membawa handuk yang ukurannya lebih kecil dari handuk yang dililitkan di
pinggang Trash. Harris lalu melemparkan handuk itu ke kepala Trash.
“Gunakan itu untuk
mengeringkan rambutmu.”
Trash menggunakan
handuk itu untuk mengeringkan rambutnya. Harris kembali duduk di sofa dan
memutar gelas anggur di satu tangannya. Membuat anggur dalam gelasnya membentuk
pusaran air.
Harris menyesap
anggurnya perlahan sebelum meletakkan gelasnya dan mengeluarkan sesuatu dari
dalam saku jaketnya. Sesuatu itu lalu diletakkannya di atas meja. Trash
menghampiri dan mengambil sebuah amplop yang diletakkan Harris di atas meja
tadi.
Trash mengeluarkan
sebuah foto dari dalam amplop. Seorang wanita berambut pirang gelap panjang
mengenakan gaun merah tua sedang tersenyum ke arah kamera. Gadis mungil yang cantik
dan sangat mirip dengan Harris.
“Breanna,” jawab Harris
seolah tahu apa yang akan ditanyakan Trash.
Trash mengangguk
enggan dan kembali meletakkan foto itu di atas meja sebelum kembali mengusap
rambut sepundaknya yang masih basah.
“Dari mana Kau tahu
bahwa yang menculiknya adalah salah seorang anak Dewa Kematian? Dan kenapa?” pertanyaan
Trash membuat wajah Harris berubah serius.
“Ada yang melihatnya
dan untuk alasannya aku masih belum tahu karena peraturan busuk yang tidak
memperbolehkan siapa pun melewati perbatasan. Maka, kami kesulitan mendapatkan
akses masuk untuk mencari Breanna.”
“Tapi, jika adikmu
memang ada di sana maka seharusnya kalian tidak perlu bantuanku,” kata Trash
membuat Harris tertawa sinis.
“Kau lebih tahu
bagaimana liciknya para Dewa Kematian. Mereka akan menyembunyikan Breanna dan
menuduh kami memfitnah mereka lalu menjatuhkan hukuman pada kaum kami. Walaupun
semua kenyataan memang mengatakan bahwa Breanna ada bersama mereka,” Trash
mengangguk menyetujui pendapat Harris tentang kelicikan para Dewa Kematian.
Mereka bahkan
tidak segan membunuh siapa pun yang menghalangi langkah licik mereka. Walaupun mereka
tahu seseorang itu tidak bersalah. Kebanyakan dari mereka hanya ingin
mempertahankan apa yang memang mereka butuhkan tapi setelah mereka tidak
membutuhkannya lagi mereka akan mendepakmu.
Trash tidak pernah
iba pada bangsa Elf atas kejadian ini karena bangsa Elf juga melakukan hal yang
sama padanya. Setelah membuangnya ratusan tahun kini mereka memanggilnya
kembali hanya karena Trash bisa melewati perbatasan untuk menemukan Breanna.
“Kau tahu?
Sebenarnya aku tidak peduli pada semua ini! Siapa pun yang diculik atau apa pun
yang mereka lakukan pada kaummu mungkin memang itu yang pantas kalian dapatkan,”
kata Trash tenang sambil meletakkan handuk kecilnya lalu memakai kaosnya.
“Aku akan berikan
apa pun padamu untuk menyelamatkan Breanna.”
Trash mengerutkan
kening, “kenapa? Bukankah dia bukan adik kandungmu?” tanya Trash membuat Harris
menegang.
“Bukan urusanmu, Sampah!
Malam ini datanglah ke bestmen karena
aku tidak ingin mereka melukai Breanna hanya karena rencana pencarian kami
mungkin saja berantakan oleh ulah cerobohmu,” kata Harris sebelum keluar dari
kamar dan membanting pintu hingga tertutup.
Trash mengenakan
celana selututnya dan mengambil ranselnya yang masih tergeletak di lantai. Ia
lalu membawa pedangnya ke kamar mandi untuk membersihkannya dari sisa darah
ular raksasa. Walaupun pedang Trash tidak akan pernah bisa patah atau tumpul, tapi
Trash tidak terlalu suka bau darah.
Setelah
membersihkannya, Trash menggantung pedangnya di balik lemari. Itu kebiasaan Trash
untuk menyimpan senjatanya karena yang Trash tahu dia tidak bisa percaya pada
siapa pun di sini. Mungkin kecuali Sharon.
Trash tidak sabar
ingin segera menyelesaikan misi ini dan membawa Sharon pulang ke pondoknya. Sharon
pasti akan suka jika mendengarnya. Tidak perlu ditanya pun Trash tahu Sharon
masih menyukainya. Dari cara Sharon memandangnya sebelum keluar dari kamar itu,
Trash mampu membaca perasaan Sharon.
“Kali ini aku
tidak akan melepaskanmu, Sharon,” ucap Trash memejamkan matanya dan tersenyum
tipis.
***
“Terima kasih,”
ucap Harris pelan sebelum mengecup punggung tangan Sharon, membuat wajah Sharon
memerah.
“Bukan masalah. Aku
pasti akan membantu,” jawab Sharon sedikit gugup dan melihat ke sekitar. Takut jika
ada yang melihat adegan cium tangan tadi karena Harris adalah pangeran kerajaan
Elf dan Sharon hanya Elf biasa.
“Tidak, Sharon. Sungguh
bantuanmu sangat berarti untukku. Kau tahu perasaan Trash padamu sangat besar
karena itulah dia mau datang saat Kau memintanya. Aku yakin sebentar lagi
Breanna akan ditemukan jika Trash memakai kekuatan Ace,” Sharon tersenyum
malu-malu dan mengangguk.
“Bagaimana jika Kau
mentraktirku makan?” tawar Sharon membuat Harris tersenyum lebar dan
mengangguk.
“Setelah Breanna
ditemukan,” ucap Harris membuat Sharon menghembuskan napas berat sedikit kesal.
“Kau tidak mau?”
tanya Harris melihat respon Sharon yang sedikit kecewa.
“Tidak. Tentu saja
aku mau, Harris,” jawab Sharon sebelum Harris kembali mengecup punggung
tangannya lembut dan mengucapkan salam perpisahan karena mendengar seseorang mendekat
ke lorong tempat mereka diam-diam bertemu.
Ketika Harris
sudah menghilang di tikungan tangga turun ke bawah, Sharon memegang dadanya
yang berdebar sangat keras. Ia memekik pelan karena senang.
“Apa yang terjadi?”
tanya seseorang membuat Sharon berpaling dan melihat Trash dari atas sampai
bawah kemudian berdecak.
“Bukan urusanmu, Tuan
Pesona,” goda Sharon saat menyadari seberantakan apa pun, Trash tetap sangat tampan
dan memesona. Apalagi dengan pakaian yang kini dikenakannya.
Mungkin jika Harris
yang mengenakan kaos dan celana pendek yang dikenakan Trash saat ini tidak akan
membuat kaos itu terlihat bagus. Tapi, karena Trash yang memakainya, rasanya
terlihat seperti kaos mahal dan bermerk. Seolah Trash memang terlahir menjadi
seorang model.
Trash menyapukan
pandangannya ke setiap jengkal tubuh Sharon yang terbalut pakaian formalnya
untuk mengajar.
“Apa sudah ada
yang mengatakan padamu bahwa Kau cantik?” goda Trash membuat Sharon mengibaskan
tangannya tak acuh tak menanggapi. Sharon berjalan menyusuri lorong. Trash
mengikutinya dan tersenyum melihat pinggul Sharon yang bergoyang seirama dengan
setiap langkah kakinya.
“Aku rela
selamanya menjadi murid abadi jika bisa melihat guru seseksi Kau tiap harinya,”
kata Trash membuat Sharon menghentikan langkahnya dan berbalik.
“Tidak bisakah
jangan mengganggu pekerjaanku, Tuan Pesona? Kau tahu aku tidak bisa
berkonsentrasi saat di dekatmu. Gunakan waktumu untuk melihat-lihat di sekitar
sini dan berusahalah tidak membunuh siapa pun,” kata Sharon sebelum masuk ke dalam
ruang kelas yang seluruhnya berisi murid perempuan. Mereka berbisik ribut saat
Trash mengedip pada Sharon dan beranjak dari sana.
Sharon merapikan
rambut dan bajunya dengan gugup setelah Trash menghilang dari depan pintu
kelas. Sejujurnya Sharon juga senang saat tahu Trash masih menyukainya.
Harris dan Trash
adalah dua laki-laki yang amat berbeda. Sekarang Sharon lebih memilih untuk
lebih merespon Harris walaupun saat bersamanya juga mendebarkan. Tapi, bukan
debaran cinta melainkan debar tantangan. Seorang Elf biasa bisa membuat seorang
pangeran Elf bertekuk lutut tentu akan sangat membuat bangga.
Sedangkan saat
bersama Trash adalah saat tersulit karena wanita mana pun tidak akan bisa
menahan air liur mereka jika berada di dekat Trash. Sharon adalah wanita beruntung
yang bisa menjinakkan Trash.
“Baiklah, bisakah
kita mulai pelajaran hari ini?” tanya Sharon di depan kelas berusaha
mendapatkan perhatian dari murid-murid yang masih saling berbisik.
Sharon melihat ke arah
salah seorang murid yang mengangkat tangannya, “boleh kami tahu siapa laki-laki
tadi? Guru tambahan atau salah seorang murid baru?” tanya murid yang Sharon tahu
bernama Tana.
“Dia...” kata Sharon
menggantung berusaha mencari jawaban yang tepat, “ehm... dia adalah salah seorang sukarelawan yang akan membantu
pencarian Breanna,” jawab Sharon sebelum Tana mengangkat tangannya lagi.
“Dari mana dia
berasal dan siapa namanya?”
“Aku tidak tahu
dia tinggal di mana. Namanya Trash dan aku rasa kita akhiri saja sesi tanya
jawab ini karena tidak ada hubungannya dengan pelajaranku,” kata Sharon sedikit
tidak sabar namun sekali lagi Tana mengangkat tangannya
“Lalu... apa
hubungan kalian?” tanya Tana membuat Sharon membuka mulutnya hampir menjawab
namun segera dikatupkannya lagi bibirnya yang tipis sebelum seorang murid
laki-laki membuka pintu kelas dengan sangat keras dan berteriak.
“Ada iblis...
selamatkan diri kalian....”
Serentak seluruh
murid yang ada di dalam kelas Sharon bangkit berdiri dan menghambur keluar
kelas. Di lorong-lorong depan kelas sudah ramai murid-murid berlarian panik dan
tak sedikit juga yang bertabrakan lalu terhuyung-huyung.
Beberapa murid
laki-laki berlarian keluar dari gedung sekolah dan masuk ke dalam lapangan
basket. Sharon mengikuti mereka untuk memastikan apa yang terjadi.
Langkah Sharon
terhenti saat beberapa petugas kesehatan terlihat menggotong seorang murid
laki-laki berseragam olahraga keluar dari lapangan basket. Murid laki-laki itu mengalami
memar-memar dan luka terbuka di wajah dan sekujur tubuhnya.
Beberapa murid
laki-laki juga memapah teman-temannya yang terluka lebih ringan.
Jika ada iblis
menyusup masuk ke dalam sekolah seharusnya Ambrose akan turun tangan. Tapi, ke mana
semua dewan?
“Apa yang
terjadi?” tanya Sharon menghentikan langkah salah seorang petugas medis yang
akan kembali masuk ke dalam lapangan basket.
“Seorang iblis
membuat kekacauan tapi sudah diamankan oleh pangeran Harris di kantor kepala
sekolah,” jawabnya sembari menggelengkan kepala seolah tidak percaya semua itu
terjadi.
Sharon meninggalkan
lapangan basket dan berlari menuju kantor kepala sekolah. Ia membuka pintu
dengan kasar tanpa mengetuk pintu, membuat semua orang di ruangan itu melihat
ke arahnya.
Harris berdiri
bersandar pada meja kepala sekolah. Trash duduk di depannya sambil makan permen
batang. Ambrose duduk di sofa memijat pelipisnya. Pandangan itu membuat Sharon
terpaku sejenak di depan pintu saat menyadari sesuatu.
Mata merah Trash,
rambut hitam, dan aura yang mengintimidasi. Trashlah iblis itu.
“Cobalah tidak
ikut campur,” perintah Ambrose melambaikan jarinya. Menyuruh Sharon keluar dari
dalam ruangannya. Sharon mengangguk dan sedikit membungkuk sebelum keluar dari
ruangan itu.
Sharon masih
mencengkeram kenop pintu berusaha menahan kekesalannya. Bukan karena sikap Trash
yang membuat kekacauan tapi karena sikap Ambrose yang tidak pernah menganggap Sharon
lebih dari Elf rendahan, seorang pesuruh. Yang lebih menyebalkan lagi, Harris
melihat ayahnya bersikap kasar mengusir Sharon tapi dia hanya diam saja tanpa
membelanya.
Kini Sharon tahu
bagaimana rasanya menjadi Trash. Seseorang yang dibuang lalu dipungut sesuka
hati jika mereka butuhkan. Trash yang menyedihkan. Anak malang.
***
ACE IS ICE, halaman 3 - 26
0 comments:
Post a Comment
Kami Tunggu Tanggapan Sahabat Tunas :)