Siang itu panas. Suara sound
menambah gerah para tamu undangan. Dari selatan muncullah pemuda berbatik
hijau. Wajahnya ramah tapi matanya tajam menakutkan. Ia menuju pelaminan.
Mempelai wanita itu ia beri ucapan. Senyum di pipinya menandakan bahwa mereka
sahabat. Sekarang giliran mempelai pria. Ia jabat tangannya sambil memeluknya
sambil membisikkan sesuatu. "Aku tahu rahasiamu," sang mempelai pria
pucat pasi. Pemuda berbatik hijau tersenyum lebar, lebih lebar dari sewajarnya.
Keesokan harinya, mempelai pria sebut saja Rudi, mendatangi
rumah pemuda berbatik hijau. Awan hitam menaungi wajah Rudi. Digenggamnya tas
kain berwarna abu-abu. Makibot, pemuda berbatik hijau, menyambutnya dengan
ramah. Digenggamnya tangan Rudi sambil berkata, "selamat datang tuan, mari
bicara."
Rumah itu tidak begitu besar. Terdapat gambar-gambar manusia
berjenggot, entah siapa mereka. Rudi hanya mengenal satu, Nietze sang Superman. Ada dua gelas teh hangat
tersedia di atas meja. "Saya tahu tuan akan datang," bisik Makibot.
Makibot kemudian meneguk teh hangat. Rudi mengikutinya. Teh itu rasanya manis
tapi entah kenapa ada perasaan bersalah ketika meminumnya. Tak lama kemudian
Makibot berkata, "mari kita bermain Quid
Pro Quo. Aku akan memberi tuan satu rahasia dan tuan juga memberiku satu
rahasia."
Wajah Rudi menegang. Urat-urat wajahnya bersatu membentuk
simpul di keningnya. Tetapi Rudi tahu resiko pergi ke rumah Makibot. Tas
abu-abu ditaruh pelan di atas meja. Makibot tersenyum, "aku hanya butuh
cerita."
"Quid Pro Quo,"
Rudi hanya menggeleng. "Pulanglah tuan! Pikirkan lagi! Aku hanya butuh
cerita. Jika tuan diam maka hal-hal buruk akan menyertai. Temui aku jika tuan
siap."
Sampai di rumah, Sinta menyambut Rudi. Diciumnya tangan
suaminya itu kemudian ia gandeng tangannya menuju meja makan. Sayur lodeh
hangat beserta tempe goreng sudah tersedia. Dalam hati, Rudi menangis
tersedu-sedu. Ia pandangi istrinya, ia beri kecupan hangat di keningnya. Mereka
makan bersama tetapi jiwa Rudi entah ke mana.
Pagi-pagi sekali, ketika matahari masih bermalas-malasan,
Makibot datang ke rumah Rudi. Celana training,
kaos, dan sepatu kets menjadi tampilannya kali ini. Sambil berlari-lari kecil,
Makibot menghampiri Rudi yang sedang duduk di teras. Makibot berbisik,
"aku tahu tentang Puspita." Makibot berlari meninggalkan Rudi sambil
terbahak-bahak. Tiba-tiba langit gelap dan guntur menggelegar. Rudi jatuh
tersungkur. Matanya gelap, segelap masa lalunya.
Sudah tiga hari Rudi terkapar di rumah sakit. Dokter tidak
bisa menjelaskan penyakitnya. Tubuh Rudi lumpuh hanya mulutnya yang selalu
berucap, "Makibot." Sinta susah payah mencari Makibot. Tiga hari ini
Makibot hilang begitu saja. Orang-orang desa menerka bahwa Makibot ikut
tuannya, setan berjenggot. Hari ke empat, Makibot muncul di rumah sakit. Ia
memakai kopiah dengan pakaiannya yang serba hitam. Ia tersenyum pada Sinta.
Seperti disihir, Sinta meninggalkan Makibot dan Rudi.
"Quid Pro Quo,
bad things would follow. Aku sudah memberi tuan yang aku tahu, sekarang
giliran tuan. "Seketika Rudi membuka mata, ia bangun dari tidurnya. Ketika
Rudi ingin membuka mulutnya, ia tercekat. Kerongkongannya kering laksana gurun.
Mulutnya seperti di sumpal karet gelang.
Makibot memejamkan mata. Tangannya terlentang. Ia mendongak
ke atas. Dari pintu segerombolan orang berlari menuju Makibot. Seseorang bertubuh
kekar menendang perut Makibot hingga jatuh tersungkur. Gerombolan itu belum
berhenti, bogem mentah berkali-kali menghantam Makibot namun ia tetap tersenyum.
Sebaliknya, Rudi meronta-ronta. Selang infus putus. Darah
mengucur dari lengannya. Badannya terlempar dari tempat tidur. Kepalanya
membentur tembok. Rudi mengerang meminta ampun. Tubuhnya bergerak tak
terkendali. Ia meloncat ke jendela kaca. "Pyar!!" Kaca jendela pecah. Rudi terjatuh dari lantai 7.
Makibot di bawa ke depan Balai Desa. Darah bercampur bensin
menetes di tubuhnnya. Seluruh penduduk desa merasa miris bercampur takut.
Seorang ibu menutup mata anaknya. Seorang tetua desa bersedekap seolah menyembunyikan
tangannya yang gemetaran.
Makibot terkekeh. Pemuda berbadan kekar telah siap
membakarnya. Klik! Korek api telah
dihidupkan. Sekian detik kemudian tubuh Makibot menyala. Ia tidak berteriak,
tidak pula meronta. Dengan lantang ia berteriak, "quid pro quo adalah kebenaran. Carilah di bawah meja makan! Kau
akan menemukan kebenaran." Ia terkekeh kemudian terbahak-bahak. Tubuhnya
lantas tersungkur dan hilang dalam asap hitam.
Penduduk desa tertegun. Seorang anak kecil tertawa sambil
bertepuk tangan. Tetua desa sudah kencing di celana. Pemuda kekar dan
gerombolannya seperti disihir. Mereka berlari ke rumah Rudi. Rumahnya terkunci,
Sinta masih berada di rumah sakit. Pemuda kekar mendobrak pintu dan langsung
menuju meja makan. Dilemparnya meja makan itu. Teman-temannya mengambil cangkul
di belakang rumah. “Ketemu!” Tanpa ba bi
bu keramik mereka hancurkan.
Setengah meter galian, mereka menemukan sesosok kerangka
manusia. Kerangka itu meringkuk dan mendekap kerangka seorang bayi. Pemuda
berbadan kekar menangis. Tumitnya tak kuasa menahan berat hatinya. Kerangka itu
adalah Puspita, kekasih sang pemuda kekar.
Keesokan harinya terdengar gosip-gosip miring seputar Rudi
dan Puspita. Tentang anak yang dikandungnya. Tentang kebodohan seorang pemuda bertubuh
kekar. Tetapi tak seorang pun yang berani berbicara soal Makibot.
Pagi itu ketika matahari sedang malas, Sinta duduk di teras.
Matanya masih sembab, ia menerawang jauh memikirkan masa depannya. Dari arah
selatan, seorang pemuda berbatik hijau menghampiri Sinta. Sambil menjabat
tangannya, pemuda itu berbisik, "quid
pro quo aku tahu rahasiamu."
========================================
(Quid Pro Quo, 9--11)
0 comments:
Post a Comment
Kami Tunggu Tanggapan Sahabat Tunas :)