TUNAS PUITIKA MEDIA TUNAS MUDA MENUJU KREATIF

Quid Pro Quo

by Tuesday, October 27, 2015 0 comments



Siang itu panas. Suara sound menambah gerah para tamu undangan. Dari selatan muncullah pemuda berbatik hijau. Wajahnya ramah tapi matanya tajam menakutkan. Ia menuju pelaminan. Mempelai wanita itu ia beri ucapan. Senyum di pipinya menandakan bahwa mereka sahabat. Sekarang giliran mempelai pria. Ia jabat tangannya sambil memeluknya sambil membisikkan sesuatu. "Aku tahu rahasiamu," sang mempelai pria pucat pasi. Pemuda berbatik hijau tersenyum lebar, lebih lebar dari sewajarnya.
Keesokan harinya, mempelai pria sebut saja Rudi, mendatangi rumah pemuda berbatik hijau. Awan hitam menaungi wajah Rudi. Digenggamnya tas kain berwarna abu-abu. Makibot, pemuda berbatik hijau, menyambutnya dengan ramah. Digenggamnya tangan Rudi sambil berkata, "selamat datang tuan, mari bicara."
Rumah itu tidak begitu besar. Terdapat gambar-gambar manusia berjenggot, entah siapa mereka. Rudi hanya mengenal satu, Nietze sang Superman. Ada dua gelas teh hangat tersedia di atas meja. "Saya tahu tuan akan datang," bisik Makibot. Makibot kemudian meneguk teh hangat. Rudi mengikutinya. Teh itu rasanya manis tapi entah kenapa ada perasaan bersalah ketika meminumnya. Tak lama kemudian Makibot berkata, "mari kita bermain Quid Pro Quo. Aku akan memberi tuan satu rahasia dan tuan juga memberiku satu rahasia."
Wajah Rudi menegang. Urat-urat wajahnya bersatu membentuk simpul di keningnya. Tetapi Rudi tahu resiko pergi ke rumah Makibot. Tas abu-abu ditaruh pelan di atas meja. Makibot tersenyum, "aku hanya butuh cerita."
"Quid Pro Quo," Rudi hanya menggeleng. "Pulanglah tuan! Pikirkan lagi! Aku hanya butuh cerita. Jika tuan diam maka hal-hal buruk akan menyertai. Temui aku jika tuan siap."
Sampai di rumah, Sinta menyambut Rudi. Diciumnya tangan suaminya itu kemudian ia gandeng tangannya menuju meja makan. Sayur lodeh hangat beserta tempe goreng sudah tersedia. Dalam hati, Rudi menangis tersedu-sedu. Ia pandangi istrinya, ia beri kecupan hangat di keningnya. Mereka makan bersama tetapi jiwa Rudi entah ke mana.
Pagi-pagi sekali, ketika matahari masih bermalas-malasan, Makibot datang ke rumah Rudi. Celana training, kaos, dan sepatu kets menjadi tampilannya kali ini. Sambil berlari-lari kecil, Makibot menghampiri Rudi yang sedang duduk di teras. Makibot berbisik, "aku tahu tentang Puspita." Makibot berlari meninggalkan Rudi sambil terbahak-bahak. Tiba-tiba langit gelap dan guntur menggelegar. Rudi jatuh tersungkur. Matanya gelap, segelap masa lalunya.
Sudah tiga hari Rudi terkapar di rumah sakit. Dokter tidak bisa menjelaskan penyakitnya. Tubuh Rudi lumpuh hanya mulutnya yang selalu berucap, "Makibot." Sinta susah payah mencari Makibot. Tiga hari ini Makibot hilang begitu saja. Orang-orang desa menerka bahwa Makibot ikut tuannya, setan berjenggot. Hari ke empat, Makibot muncul di rumah sakit. Ia memakai kopiah dengan pakaiannya yang serba hitam. Ia tersenyum pada Sinta. Seperti disihir, Sinta meninggalkan Makibot dan Rudi.
"Quid Pro Quo, bad things would follow. Aku sudah memberi tuan yang aku tahu, sekarang giliran tuan. "Seketika Rudi membuka mata, ia bangun dari tidurnya. Ketika Rudi ingin membuka mulutnya, ia tercekat. Kerongkongannya kering laksana gurun. Mulutnya seperti di sumpal karet gelang.
Makibot memejamkan mata. Tangannya terlentang. Ia mendongak ke atas. Dari pintu segerombolan orang berlari menuju Makibot. Seseorang bertubuh kekar menendang perut Makibot hingga jatuh tersungkur. Gerombolan itu belum berhenti, bogem mentah berkali-kali menghantam Makibot namun ia tetap tersenyum.
Sebaliknya, Rudi meronta-ronta. Selang infus putus. Darah mengucur dari lengannya. Badannya terlempar dari tempat tidur. Kepalanya membentur tembok. Rudi mengerang meminta ampun. Tubuhnya bergerak tak terkendali. Ia meloncat ke jendela kaca. "Pyar!!" Kaca jendela pecah. Rudi terjatuh dari lantai 7.
Makibot di bawa ke depan Balai Desa. Darah bercampur bensin menetes di tubuhnnya. Seluruh penduduk desa merasa miris bercampur takut. Seorang ibu menutup mata anaknya. Seorang tetua desa bersedekap seolah menyembunyikan tangannya yang gemetaran.
Makibot terkekeh. Pemuda berbadan kekar telah siap membakarnya. Klik! Korek api telah dihidupkan. Sekian detik kemudian tubuh Makibot menyala. Ia tidak berteriak, tidak pula meronta. Dengan lantang ia berteriak, "quid pro quo adalah kebenaran. Carilah di bawah meja makan! Kau akan menemukan kebenaran." Ia terkekeh kemudian terbahak-bahak. Tubuhnya lantas tersungkur dan hilang dalam asap hitam.
Penduduk desa tertegun. Seorang anak kecil tertawa sambil bertepuk tangan. Tetua desa sudah kencing di celana. Pemuda kekar dan gerombolannya seperti disihir. Mereka berlari ke rumah Rudi. Rumahnya terkunci, Sinta masih berada di rumah sakit. Pemuda kekar mendobrak pintu dan langsung menuju meja makan. Dilemparnya meja makan itu. Teman-temannya mengambil cangkul di belakang rumah. “Ketemu!” Tanpa ba bi bu keramik mereka hancurkan.
Setengah meter galian, mereka menemukan sesosok kerangka manusia. Kerangka itu meringkuk dan mendekap kerangka seorang bayi. Pemuda berbadan kekar menangis. Tumitnya tak kuasa menahan berat hatinya. Kerangka itu adalah Puspita, kekasih sang pemuda kekar.
Keesokan harinya terdengar gosip-gosip miring seputar Rudi dan Puspita. Tentang anak yang dikandungnya. Tentang kebodohan seorang pemuda bertubuh kekar. Tetapi tak seorang pun yang berani berbicara soal Makibot.
Pagi itu ketika matahari sedang malas, Sinta duduk di teras. Matanya masih sembab, ia menerawang jauh memikirkan masa depannya. Dari arah selatan, seorang pemuda berbatik hijau menghampiri Sinta. Sambil menjabat tangannya, pemuda itu berbisik, "quid pro quo aku tahu rahasiamu."

========================================
(Quid Pro Quo, 9--11) 

Tunas Puitika

Penerbit Indie di Semarang Menerima Segala Jenis Naskah Baik Fiksi maupun Nonfiksi

0 comments:

Post a Comment

Kami Tunggu Tanggapan Sahabat Tunas :)