Di teras rumahnya yang terbuat dari kayu
ulin berwarna gelap ini Nani selalu menunggu Mmak pulang. Kata Ua, Mmak pergi
ke tempat yang sangat jauh. Nani tidak pernah tahu apa nama tempat yang sangat
jauh itu, tapi Nani punya keyakinan, Mmak pasti pulang.
Uwuk masih saja sibuk dengan jagung
rebus yang tak habis dimakan Nani. Perut anak usia enam tahun itu masih belum
mampu menghabiskan satu buah jagung rebus. Uwuk adalah seekor uwa-uwa yang
sudah lama menjadi teman Nani dan selalu bersedia menghabiskan makanan sisa
yang tak habis dimakan Nani.
Nani dan Ua tinggal di rumah yang
terletak agak masuk ke dalam hutan Pulau Maratua. Dulu Mmak juga ikut tinggal
satu rumah di sana, tapi sudah setahun ini tak kunjung ada kabar pasti tentang
keberadaan Mmak. Ua sehari-hari berjalan jauh keluar hutan menuju pasar Desa
Payung-payung untuk menjual hasil kebun pada para nelayan. Uwuk lah yang selalu
menemani Nani di rumah jika Ua sedang pergi ke pasar.
Kebanyakan masyarakat Pulau Maratua
adalah Suku Bajau yang bekerja sebagai nelayan. Namun, Ua memilih jalan yang
lain. Ua tidak terampil menangkap ikan, tidak pandai memperbaiki jala yang
putus, juga tidak bisa berenang. Selain itu, keterbatasan ekonomi membuat Ua
tak mampu memiliki kapal untuk melaut. Jangankan beli kapal, menyewa saja Ua
tak sanggup. Dengan dibekali sedikit ilmu bercocok tanam dari orang tuanya, Ua
akhirnya membuka kebun kecil di belakang rumah panggung yang ia tinggali
bersama Nani. Menanam sebisanya, mulai dari singkong, tebu, jagung, dan
lain-lain kemudian menjual hasilnya ke pasar atau dibarter dengan berbagai
macam kebutuhan.
“Ua bertemu Mmak tidak di pasar?” Tanya
Nani ketika Ua pulang ke rumah. Ua hanya menggeleng.
“Kenapa Mmak tak mau pulang, Ua? Apa
Mmak benci sama kita?” Tanya Nani lagi.
“Nani, mana mungkin Mmak benci sama
kita? Mmak sayang sama kita. Nanti juga Mmak pulang. Kau sabar saja,” Ua
berusaha membesarkan hati anak perempuannya itu. Nani hanya menghembuskan napas
kecewa.
“Oh iya, ini Ua bawakan kau arumanis
kesukaanmu. Tadi Ua beli di pasar Payung-payung,” tambah Ua sambil mengeluarkan
bungkusan dari dalam keranjang bawaannya.
“Kenapa warnanya putih, Ua?” Tanya Nani
begitu menerima arumanis dari Ua.
“Loh kenapa? Kau tak suka?” Tanya Ua heran.
“Biasanya Ua bawa yang merah.”
“Tadi yang merah habis, tinggal yang
putih. Tak apa-apa kan? Toh rasanya
sama.”
“Beda Ua. Lebih manis yang merah.”
“Ya sudah, kalau kau tak suka, kasihkan
Uwuk saja.”
“Janganlah. Uwuk sudah aku kasih jagung
tadi.”
“Kalau begitu dimakan saja. Merah atau
putih sama saja. Sama-sama arumanis.”
==============================
Hujan minggu itu tak kunjung usai juga.
Singkong yang ditanam di kebun belakang rumah mulai membusuk terendam genangan
air hujan selama tiga hari. Nani duduk di teras rumahnya bersama Uwuk.
Tangannya masih memegang arumanis berwarna merah muda yang sudah mengeras
pemberian Ua kemarin sore.
Hari makin sore, tapi Ua belum juga
pulang. Sedangkan hujan sepertinya tak mau sekadar beristirahat sebentar untuk
mengguyur bumi yang kepayahan. Angin mengejar di mana-mana. Menggoyangkan
nyiur-nyiur pohon kelapa. Satu per satu singkong di belakang rumah tercabut
dari tanah lalu hanyut terbawa arus air. Petir terus-menerus merongrong langit
dengan cahaya dan suara yang tiba-tiba. Sedangkan sinar matahari sudah mulai
malu-malu di balik awan dan kabur ke barat.
Sesekali Nani beranjak ke teras samping
dan menoleh ke belakang rumah. “Siapa tau Ua ternyata tidak lewat halaman
depan,” begitu pikirnya. Tapi nyatanya yang ia lihat hanya hujan, genangan air,
dan kebun singkong yang rebah.
Kemarin sore Ua pulang dari pasar
membawa arumanis untuk diberikan pada Nani. Hujan masih deras, tapi Ua seperti
sedang bergegas akan pergi lagi.
“Ua mau ke mana lagi?” Tanya Nani sambil
mencuil sedikit arumanis di tangannya.
“Menjemput Mmak,” jawab Ua singkat
sambil terburu-buru memasukkan berbagai macam benda ke ranselnya.
“Mmak sudah pulang, Ua? Di mana Mmak
sekarang?” Tanya Nani bersemangat.
“Ada di laut. Air sedang tidak bagus.
Jadi harus dijemput pakai kapal yang lebih besar.”
“Ua ikut kapal itu?”
“Iya. Ikut dengan orang-orang dari Desa
Payung-Payung yang juga mau menjemput keluarganya.”
“Aku ikut jemput Mmak, Ua.”
“Tak usah. Kau tunggu di rumah sama
Uwuk. Laut sedang tidak bagus, Nani. Berbahaya.”
“Tapi aku ingin ketemu Mmak.”
“Nanti kita semua akan ketemu. Kau yang
sabar menunggu. Lagi pula kau kan masih demam. Nanti kau malah tambah sakit.
Sambil menunggu, kau makan arumanis itu. Kau suka yang warna merah kan? Itu Ua
belikan warna merah kesukaanmu.”
“Iya, Ua.”
“Jangan kau habiskan arumanismu sebelum
Ua pulang ya,” Ua menggendong Nani sambil mencium keningnya.
Nani mengangguk lalu mengantar kepergian
Ua sampai teras rumah sambil membawa arumanis merah muda yang baru ia makan
secuil.
===============================
(Arumanis
Nani, 11–15)
0 comments:
Post a Comment
Kami Tunggu Tanggapan Sahabat Tunas :)