TUNAS PUITIKA MEDIA TUNAS MUDA MENUJU KREATIF

Arumanis Nani

by Tuesday, October 27, 2015 0 comments



Di teras rumahnya yang terbuat dari kayu ulin berwarna gelap ini Nani selalu menunggu Mmak pulang. Kata Ua, Mmak pergi ke tempat yang sangat jauh. Nani tidak pernah tahu apa nama tempat yang sangat jauh itu, tapi Nani punya keyakinan, Mmak pasti pulang.
Uwuk masih saja sibuk dengan jagung rebus yang tak habis dimakan Nani. Perut anak usia enam tahun itu masih belum mampu menghabiskan satu buah jagung rebus. Uwuk adalah seekor uwa-uwa yang sudah lama menjadi teman Nani dan selalu bersedia menghabiskan makanan sisa yang tak habis dimakan Nani.
Nani dan Ua tinggal di rumah yang terletak agak masuk ke dalam hutan Pulau Maratua. Dulu Mmak juga ikut tinggal satu rumah di sana, tapi sudah setahun ini tak kunjung ada kabar pasti tentang keberadaan Mmak. Ua sehari-hari berjalan jauh keluar hutan menuju pasar Desa Payung-payung untuk menjual hasil kebun pada para nelayan. Uwuk lah yang selalu menemani Nani di rumah jika Ua sedang pergi ke pasar.
Kebanyakan masyarakat Pulau Maratua adalah Suku Bajau yang bekerja sebagai nelayan. Namun, Ua memilih jalan yang lain. Ua tidak terampil menangkap ikan, tidak pandai memperbaiki jala yang putus, juga tidak bisa berenang. Selain itu, keterbatasan ekonomi membuat Ua tak mampu memiliki kapal untuk melaut. Jangankan beli kapal, menyewa saja Ua tak sanggup. Dengan dibekali sedikit ilmu bercocok tanam dari orang tuanya, Ua akhirnya membuka kebun kecil di belakang rumah panggung yang ia tinggali bersama Nani. Menanam sebisanya, mulai dari singkong, tebu, jagung, dan lain-lain kemudian menjual hasilnya ke pasar atau dibarter dengan berbagai macam kebutuhan.
“Ua bertemu Mmak tidak di pasar?” Tanya Nani ketika Ua pulang ke rumah. Ua hanya menggeleng. 
“Kenapa Mmak tak mau pulang, Ua? Apa Mmak benci sama kita?” Tanya Nani lagi.
“Nani, mana mungkin Mmak benci sama kita? Mmak sayang sama kita. Nanti juga Mmak pulang. Kau sabar saja,” Ua berusaha membesarkan hati anak perempuannya itu. Nani hanya menghembuskan napas kecewa.
“Oh iya, ini Ua bawakan kau arumanis kesukaanmu. Tadi Ua beli di pasar Payung-payung,” tambah Ua sambil mengeluarkan bungkusan dari dalam keranjang bawaannya.
“Kenapa warnanya putih, Ua?” Tanya Nani begitu menerima arumanis dari Ua.
“Loh kenapa? Kau tak suka?” Tanya Ua heran.
“Biasanya Ua bawa yang merah.”
“Tadi yang merah habis, tinggal yang putih. Tak apa-apa kan?  Toh rasanya sama.”
“Beda Ua. Lebih manis yang merah.”
“Ya sudah, kalau kau tak suka, kasihkan Uwuk saja.”
“Janganlah. Uwuk sudah aku kasih jagung tadi.”
“Kalau begitu dimakan saja. Merah atau putih sama saja. Sama-sama arumanis.”

==============================

Hujan minggu itu tak kunjung usai juga. Singkong yang ditanam di kebun belakang rumah mulai membusuk terendam genangan air hujan selama tiga hari. Nani duduk di teras rumahnya bersama Uwuk. Tangannya masih memegang arumanis berwarna merah muda yang sudah mengeras pemberian Ua kemarin sore.
Hari makin sore, tapi Ua belum juga pulang. Sedangkan hujan sepertinya tak mau sekadar beristirahat sebentar untuk mengguyur bumi yang kepayahan. Angin mengejar di mana-mana. Menggoyangkan nyiur-nyiur pohon kelapa. Satu per satu singkong di belakang rumah tercabut dari tanah lalu hanyut terbawa arus air. Petir terus-menerus merongrong langit dengan cahaya dan suara yang tiba-tiba. Sedangkan sinar matahari sudah mulai malu-malu di balik awan dan kabur ke barat.
Sesekali Nani beranjak ke teras samping dan menoleh ke belakang rumah. “Siapa tau Ua ternyata tidak lewat halaman depan,” begitu pikirnya. Tapi nyatanya yang ia lihat hanya hujan, genangan air, dan kebun singkong yang rebah.
Kemarin sore Ua pulang dari pasar membawa arumanis untuk diberikan pada Nani. Hujan masih deras, tapi Ua seperti sedang bergegas akan pergi lagi.
“Ua mau ke mana lagi?” Tanya Nani sambil mencuil sedikit arumanis di tangannya.
“Menjemput Mmak,” jawab Ua singkat sambil terburu-buru memasukkan berbagai macam benda ke ranselnya.
“Mmak sudah pulang, Ua? Di mana Mmak sekarang?” Tanya Nani bersemangat.
“Ada di laut. Air sedang tidak bagus. Jadi harus dijemput pakai kapal yang lebih besar.”
“Ua ikut kapal itu?”
“Iya. Ikut dengan orang-orang dari Desa Payung-Payung yang juga mau menjemput keluarganya.”
“Aku ikut jemput Mmak, Ua.”
“Tak usah. Kau tunggu di rumah sama Uwuk. Laut sedang tidak bagus, Nani. Berbahaya.”
“Tapi aku ingin ketemu Mmak.”
“Nanti kita semua akan ketemu. Kau yang sabar menunggu. Lagi pula kau kan masih demam. Nanti kau malah tambah sakit. Sambil menunggu, kau makan arumanis itu. Kau suka yang warna merah kan? Itu Ua belikan warna merah kesukaanmu.”
“Iya, Ua.”
“Jangan kau habiskan arumanismu sebelum Ua pulang ya,” Ua menggendong Nani sambil mencium keningnya.
Nani mengangguk lalu mengantar kepergian Ua sampai teras rumah sambil membawa arumanis merah muda yang baru ia makan secuil.

===============================


(Arumanis Nani, 11–15)

Tunas Puitika

Penerbit Indie di Semarang Menerima Segala Jenis Naskah Baik Fiksi maupun Nonfiksi

0 comments:

Post a Comment

Kami Tunggu Tanggapan Sahabat Tunas :)