AKU
tengah mengalami cerita cinta yang aneh. Aku jatuh cinta kepada Ratih, gadis
yang telah kukenal sejak kecil. Hingga kini, entahlah, aku tak yakin apakah
Ratih mengerti dan merasakan jika aku mencintainya. Aku belum menyatakan
perasaanku pada Ratih. Aku hanya berpikir bahwa aku belum menemukan cara dan
waktu yang tepat saja. Kegalauan tingkat dewa benar-benar menghajarku.
Hanya
saja, bukan soal kegalauanku yang kemudian menghambat pernyataan cintaku kepada
Ratih yang kuanggap aneh. Kupikir, adalah hal yang wajar jika seorang lelaki
sejenak kehilangan akal untuk nyatakan cinta kepada seorang gadis, meskipun
gadis itu telah ia kenal sangat lama lebih dari separuh perjalanan hidupnya.
Namun, keanehan itu adalah,
ketika dalam beberapa malam terakhir, aku benar-benar terbadai oleh kerinduanku
kepada Ratih. Maka, sebelum tidur aku selalu berdoa agar aku bisa bertemu
dengan Ratih di alam lima dimensi mimpi. Akan tetapi, yang terjadi, aku selalu
bermimpi tentang seorang lelaki tua dan lukisan-lukisannya.
Dan
inilah yang sebenarnya akan kuceritakan.
Lelaki
tua itu bernama Wijoyo. Rambutnya panjang dan sebagian besar telah memutih. Ia
tinggal seorang diri di sebuah rumah di pojok selatan kampungku. Setiap hari
yang dilakukannya hanyalah melukis. Dari kabar yang kudengar, ia tak pernah
menikah.
Pada
awalnya, dari mimpi-mimpiku aku sempat berkesimpulan, mungkin aku harus
menyatakan cinta kepada Ratih dengan memberinya lukisan yang indah. Namun,
ketika suatu hari kuputuskan untuk mengunjungi lelaki tua itu, dan hal itu
berlanjut hingga berbulan-bulan aku sering duduk mengobrol dan menemaninya
melukis, barulah aku mengerti jika ternyata kesimpulanku salah. Benar-benar
salah.
***
“Wajah
siapakah yang sedang kau lukis, Kakek?” tanyaku pada suatu hari.
Dari
lukisan-lukisan yang pernah kulihat di rumah Wijoyo, semuanya adalah lukisan
wajah manusia.
“Seseorang
yang ada di dalam kepalaku,” jawab Wijoyo. Singkat. Memang kulihat Wijoyo
menyapukan kuasnya begitu saja di atas kanvas tanpa melihat sebuah gambar atau
foto wajah seseorang.
Pelan
namun pasti. Aku melihat raut kesungguhan Wijoyo, dan begitu nyata wajah yang
ia lukiskan. Wajah itu, di mataku adalah wajah seorang perempuan tua. Aku
menyadari, agak lama aku mengamati wajah dalam kanvas itu. Ia adalah wajah
perempuan Eropa. Aku benar-benar takjub saat wajah itu terlihat seolah
bernyawa, dan ia tengah menyapa Wijoyo.
Aku
tertegun, “Kau melukis wajah perempuan Eropa.”
Wijoyo
diam saja.
“Siapakah dia? Namanya? Oya!
Ngomong-ngomong, kapan terakhir kali engkau bertemu dengannya? Atau barangkali,
kapan kau menerima surat dan kiriman foto ini darinya?”
“Sudah
kubilang, aku hanya melukiskan wajah seseorang yang ada di dalam benakku. Aku
hanya memperturutkan gerak tanganku,” jawab Wijoyo, “bahkan, mungkin aku bisa
melukisnya meskipun kau tutup mataku.”
“Hmm...
Baiklah. Lalu, siapakah namanya?”
“Namanya
Hellen.”
Lalu,
dengan cepat ia menyambung kata-katanya, “Ia seorang Belanda.”
***
Suatu malam,
aku kembali datang ke rumah Wijoyo. Aku sengaja membawa bubuk kopi dan beberapa
potong roti bakar yang kubeli di dekat rumah. Seperti yang sudah-sudah, ia
sedang duduk melukis. Aku segera menuju dapur untuk menyeduh dua gelas kopi dan
mengambil piring untuk menaruh roti.
Segera
kucomot sepotong roti berselai strawberry.
“Makanlah
dahulu, Kek. Engkau sangat serius terhadap berjuta wajah yang kau ciptakan.”
Wijoyo
berhenti sejenak. Ia menoleh ke arahku. Aku mencoba tersenyum. “Makanlah!”
Tetapi, ia enggan membalas senyumku rupanya. “Oya,” aku mengeluarkan foto Ratih
dari dalam dompetku, “bisakah kau melukis wajahnya untukku? Akan kuberikan
lukisan wajahnya yang indah agar dia menerimaku, rupanya inilah cara yang
memang ditunjukkan Tuhan kepadaku.”
Wijoyo masih
saja terdiam. Aku mencoba bersabar. Sebentar lagi pastilah ia selesai
merampungkan lukisannya. Aku tidak begitu tertarik untuk berkomentar atau
menanyakan siapakah dia ataupun namanya. Kali ini, ia melukis wajah seorang
pemuda seumuranku. Lagi-lagi, ia melukis garis karakter wajah Eropa.
“Atau,
minumlah kopimu selagi masih panas.”
Tak lama, ia
berhenti melukis. Dipandanginya wajah dalam kanvas itu sebentar, lalu ia duduk
di depanku.
“Kau sangat
berlebihan,” katanya, “aku hanya melukis dua raut wajah, bukan sejuta wajah
seperti yang kau bilang.”
Ia
menyeruput kopinya. Aku sempat berhenti mengunyah roti.
Wijoyo
melihat ke sekeliling ruangan. “Lihatlah, aku hanya menggambar dua raut wajah.
Ia adalah Hellen, dan pemuda itu sepertinya adalah anaknya. Tetapi aku tak tahu
siapa namanya,” kata Wijoyo.
Wijoyo
melanjutkan ucapannya, “Aku tak pernah berkenalan dengannya. Aku bahkan tidak
pernah melihat wajahnya. Ia hanya berada di dalam kepalaku saja.”
Aku tidak
berbohong. Sejak awal telah kuceritakan, aku merasakan sesuatu teramat aneh.
Kemudian, setiap kali kutangkap redup tatap mata Wijoyo, hal itu semakin
menegaskan: perasaan aneh semakin menggelayut di dalam dadaku. Seperti ada
sesuatu yang ia simpan pada lebih dari tiga perempat abad usia hidup Wijoyo.
Aku merasa tidak berhak untuk menanyakan rahasia itu, tetapi jujur aku sangat
penasaran dan ingin mengetahui kisahnya.
“Semua wajah
perempuan itu adalah Hellen.” Ia menunjuk. “Itu ketika ia masih muda, dan di
dalam benakku aku dapat melihat wajahnya seperti yang kau lihat saat ini.
Lihatlah dengan seksama, sisa kecantikannya masih lekat di wajah perempuan
itu.”
Kurasakan,
aku menjadi begitu sungkan untuk mengulang permintaanku agar ia melukis wajah
Ratih. Untuk saat ini, aku hanya bergumam, Wijoyo bukanlah orang biasa.
***
==============================================
(Lukisan
Wijoyo, 33–36)
0 comments:
Post a Comment
Kami Tunggu Tanggapan Sahabat Tunas :)