TUNAS PUITIKA MEDIA TUNAS MUDA MENUJU KREATIF

Lukisan Wijoyo

by Friday, October 23, 2015 0 comments



AKU tengah mengalami cerita cinta yang aneh. Aku jatuh cinta kepada Ratih, gadis yang telah kukenal sejak kecil. Hingga kini, entahlah, aku tak yakin apakah Ratih mengerti dan merasakan jika aku mencintainya. Aku belum menyatakan perasaanku pada Ratih. Aku hanya berpikir bahwa aku belum menemukan cara dan waktu yang tepat saja. Kegalauan tingkat dewa benar-benar menghajarku.
Hanya saja, bukan soal kegalauanku yang kemudian menghambat pernyataan cintaku kepada Ratih yang kuanggap aneh. Kupikir, adalah hal yang wajar jika seorang lelaki sejenak kehilangan akal untuk nyatakan cinta kepada seorang gadis, meskipun gadis itu telah ia kenal sangat lama lebih dari separuh perjalanan hidupnya.
Namun, keanehan itu adalah, ketika dalam beberapa malam terakhir, aku benar-benar terbadai oleh kerinduanku kepada Ratih. Maka, sebelum tidur aku selalu berdoa agar aku bisa bertemu dengan Ratih di alam lima dimensi mimpi. Akan tetapi, yang terjadi, aku selalu bermimpi tentang seorang lelaki tua dan lukisan-lukisannya.
Dan inilah yang sebenarnya akan kuceritakan.
Lelaki tua itu bernama Wijoyo. Rambutnya panjang dan sebagian besar telah memutih. Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah di pojok selatan kampungku. Setiap hari yang dilakukannya hanyalah melukis. Dari kabar yang kudengar, ia tak pernah menikah.
Pada awalnya, dari mimpi-mimpiku aku sempat berkesimpulan, mungkin aku harus menyatakan cinta kepada Ratih dengan memberinya lukisan yang indah. Namun, ketika suatu hari kuputuskan untuk mengunjungi lelaki tua itu, dan hal itu berlanjut hingga berbulan-bulan aku sering duduk mengobrol dan menemaninya melukis, barulah aku mengerti jika ternyata kesimpulanku salah. Benar-benar salah.

***

“Wajah siapakah yang sedang kau lukis, Kakek?” tanyaku pada suatu hari.
Dari lukisan-lukisan yang pernah kulihat di rumah Wijoyo, semuanya adalah lukisan wajah manusia.
“Seseorang yang ada di dalam kepalaku,” jawab Wijoyo. Singkat. Memang kulihat Wijoyo menyapukan kuasnya begitu saja di atas kanvas tanpa melihat sebuah gambar atau foto wajah seseorang.
Pelan namun pasti. Aku melihat raut kesungguhan Wijoyo, dan begitu nyata wajah yang ia lukiskan. Wajah itu, di mataku adalah wajah seorang perempuan tua. Aku menyadari, agak lama aku mengamati wajah dalam kanvas itu. Ia adalah wajah perempuan Eropa. Aku benar-benar takjub saat wajah itu terlihat seolah bernyawa, dan ia tengah menyapa Wijoyo.
Aku tertegun, “Kau melukis wajah perempuan Eropa.”
Wijoyo diam saja.
“Siapakah dia? Namanya? Oya! Ngomong-ngomong, kapan terakhir kali engkau bertemu dengannya? Atau barangkali, kapan kau menerima surat dan kiriman foto ini darinya?”
“Sudah kubilang, aku hanya melukiskan wajah seseorang yang ada di dalam benakku. Aku hanya memperturutkan gerak tanganku,” jawab Wijoyo, “bahkan, mungkin aku bisa melukisnya meskipun kau tutup mataku.”
“Hmm... Baiklah. Lalu, siapakah namanya?”
“Namanya Hellen.”
Lalu, dengan cepat ia menyambung kata-katanya, “Ia seorang Belanda.”

***

Suatu malam, aku kembali datang ke rumah Wijoyo. Aku sengaja membawa bubuk kopi dan beberapa potong roti bakar yang kubeli di dekat rumah. Seperti yang sudah-sudah, ia sedang duduk melukis. Aku segera menuju dapur untuk menyeduh dua gelas kopi dan mengambil piring untuk menaruh roti.
Segera kucomot sepotong roti berselai strawberry.
“Makanlah dahulu, Kek. Engkau sangat serius terhadap berjuta wajah yang kau ciptakan.”
Wijoyo berhenti sejenak. Ia menoleh ke arahku. Aku mencoba tersenyum. “Makanlah!” Tetapi, ia enggan membalas senyumku rupanya. “Oya,” aku mengeluarkan foto Ratih dari dalam dompetku, “bisakah kau melukis wajahnya untukku? Akan kuberikan lukisan wajahnya yang indah agar dia menerimaku, rupanya inilah cara yang memang ditunjukkan Tuhan kepadaku.”
Wijoyo masih saja terdiam. Aku mencoba bersabar. Sebentar lagi pastilah ia selesai merampungkan lukisannya. Aku tidak begitu tertarik untuk berkomentar atau menanyakan siapakah dia ataupun namanya. Kali ini, ia melukis wajah seorang pemuda seumuranku. Lagi-lagi, ia melukis garis karakter wajah Eropa.
“Atau, minumlah kopimu selagi masih panas.”  
Tak lama, ia berhenti melukis. Dipandanginya wajah dalam kanvas itu sebentar, lalu ia duduk di depanku.
“Kau sangat berlebihan,” katanya, “aku hanya melukis dua raut wajah, bukan sejuta wajah seperti yang kau bilang.”
Ia menyeruput kopinya. Aku sempat berhenti mengunyah roti.
Wijoyo melihat ke sekeliling ruangan. “Lihatlah, aku hanya menggambar dua raut wajah. Ia adalah Hellen, dan pemuda itu sepertinya adalah anaknya. Tetapi aku tak tahu siapa namanya,” kata Wijoyo.
Wijoyo melanjutkan ucapannya, “Aku tak pernah berkenalan dengannya. Aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya. Ia hanya berada di dalam kepalaku saja.”
Aku tidak berbohong. Sejak awal telah kuceritakan, aku merasakan sesuatu teramat aneh. Kemudian, setiap kali kutangkap redup tatap mata Wijoyo, hal itu semakin menegaskan: perasaan aneh semakin menggelayut di dalam dadaku. Seperti ada sesuatu yang ia simpan pada lebih dari tiga perempat abad usia hidup Wijoyo. Aku merasa tidak berhak untuk menanyakan rahasia itu, tetapi jujur aku sangat penasaran dan ingin mengetahui kisahnya.
“Semua wajah perempuan itu adalah Hellen.” Ia menunjuk. “Itu ketika ia masih muda, dan di dalam benakku aku dapat melihat wajahnya seperti yang kau lihat saat ini. Lihatlah dengan seksama, sisa kecantikannya masih lekat di wajah perempuan itu.”
Kurasakan, aku menjadi begitu sungkan untuk mengulang permintaanku agar ia melukis wajah Ratih. Untuk saat ini, aku hanya bergumam, Wijoyo bukanlah orang biasa.

*** 
==============================================


(Lukisan Wijoyo, 3336)

Tunas Puitika

Penerbit Indie di Semarang Menerima Segala Jenis Naskah Baik Fiksi maupun Nonfiksi

0 comments:

Post a Comment

Kami Tunggu Tanggapan Sahabat Tunas :)