Sesosok hantu
membuat tembok di tengah hutan. Mustahil untuk dilalui karena tingginya menembus
langit dan kerasnya bagai berlian. Manusia yang mencoba menembusnya akan
menggerutu lalu kembali ke desa. Ada yang menunggu runtuhnya tembok itu.
Setahun, dua tahun, tetapi sia-sia. Orang-orang yang tersesat di hutan akan
linglung melihatnya. Bagaimana bisa sebuah tembok dibangun di tengah hutan? Apa
pula maksud dibangunnya tembok itu? Beberapa orang bijak mencoba menjawabnya
tapi tidak pernah mencapai simpulan yang meyakinkan.
Pada
suatu hari ada seorang anak manusia yang melalui hutan. Ia berasal dari Desa
Gagah. Lokasinya tidak terlalu jauh dari hutan. Tidak begitu jelas mengapa anak
itu berkeliaran di hutan. Mungkin karena ia seorang pengangguran. Jadi, ia
mengisi waktunya dengan hal-hal yang tidak berguna. Anak itu tertegun melihat
tembok di tengah hutan. Ia tersengat ketika menyentuh tembok itu. Ia mundur
tiga langkah, mengernyitkan dahi, duduk, lalu bengong. Beberapa lama ia tetap
bengong. Mulutnya terbuka. Air liur menetes di samping bibirnya. Seekor lalat terbang
tepat di atas kepalanya, buang hajat, kemudian terbang kembali.
Hantu pembuat
tembok duduk di atas pohon, melihat sebentar padanya, kemudian tidur lagi.
Hantu itu meramalkan sang anak manusia akan pergi. Jika tidak pasti ia akan
menunggu sampai mati, seperti orang-orang sok jagoan lainnya. Tapi melihat dari
penampilannya, sang hantu yakin anak manusia akan pergi. Anak itu tidak punya
kemampuan teknis dan akademis untuk menembus tembok itu. Wajah anak itu juga
jauh dari kesan pejuang kebenaran. Jauh juga dari kesan filsuf. Apalagi ia
berasal dari Desa Gagah, desa para penyamun. Sang hantu terkekeh karena
pikirannya sendiri. Ia masih ingat kebodohan yang dilakukan orang-orang Desa
Gagah. Orang-orang desa itu membawa makanan dan berdoa pada tembok. Ada yang
minta jodoh, ada yang minta rejeki, ada yang minta ilmu kebal.
“Mereka pikir
tembok ini Tuhan? Dasar orang-orang sinting,” gumam hantu dalam hati.
Anak manusia
menggali tanah dengan tangannya. Makin dalam, makin dalam, dan makin dalam
hingga menutupi badannya. Hantu berpikir bahwa anak ini pasti tidak waras. Anak
manusia mulai tidak kelihatan dari atas pohon. Hantu mulai khawatir.
Jangan-jangan anak itu menggali tanah untuk melalui tembok. Hantu terbang dari
pohon, menembus tembok, dan masuk ke sisi lain. Ia tidak salah. Anak itu sudah
berada di sisi lain tembok. Mengibas-ibaskan bajunya yang kotor oleh tanah
galian. Sang hantu kaget setengah mati. Baru kali ini temboknya berhasil
dilalui. Yang lebih parah, tembok itu dilewati oleh orang seperti anak itu.
Yang bahkan kurang pantas disebut sebagai manusia.
Sang
hantu memutar otak. Mondar-mandir bagai manusia. Jangan sampai anak itu
mencapai kebenaran. Jika ia sampai menemukannya, maka tatanan semesta akan
hancur. Sang hantu menemukan solusinya. Dengan segenap kekuatan ia membuat
jurang yang sangat lebar. Dalamnya tak terkira, lebarnya sekitar satu benua.
Satu-satunya cara melaluinya adalah dengan terbang di atasnya. Mustahil anak
manusia bisa melaluinya. Jika masih ingin, maka ia harus punya sayap. Manusia
tidak mungkin punya sayap. Manusia tidak ditakdirkan untuk terbang. Manusia
ditakdirkan untuk berjalan, makan, sedikit bersenang-senang, lalu mati.
Anak manusia
duduk di tepi jurang. Sorot matanya menjadi redup. Bibirnya yang tebal bergerak-gerak
seperti membaca sesuatu. Ia mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku bajunya.
Ia pandangi sebentar kemudian ia masukkan lagi ke sakunya. Sang hantu mengira
bahwa manusia akan membuat semacam alat untuk terbang. Entah dari daun atau
baju yang sedang dipakai. Sepanjang pengetahuan hantu, memang begitulah
manusia, selalu membuat alat untuk memuaskan keinginan.
Anak manusia
berdiri dari duduknya, melihat jurang sebentar, berbalik arah, kemudian
berjalan menjauh. Hantu tersenyum sinis kemudian meludah. Tidak semua air
ludahnya jatuh ke tanah, sebagian mengenai wajahnya sendiri. Hantu hendak
beranjak pergi ketika guncangan hebat seperti merobohkan bumi. Anak manusia
telah merobohkan tembok di tengah hutan. Tembok itu jatuh menutupi jurang. Anak
manusia dengan santai berjalan di atasnya. Hantu terbelalak tidak percaya.
Bagaimana
bisa? Tidak mungkin! Hantu mulai panik. Tidak mungkin ia melawan lagi. Kekuatan
anak manusia melebihi perkiraannya. Satu cara terakhir selalu berhasil. Sang
hantu telah menggunakannya sejak awal terbentuknya dunia. Cara itu adalah:
TIPUAN.
“Tuanku anak
manusia, hamba mohon berhenti sebentar. Berhentilah sebentar dan dengarkanlah
hamba berbicara. Tuan makhluk yang amat kuat. Bumi dan langit saksinya. Tembok
besar dan jurang dalam tidak dapat menghambat Tuan. Tapi hamba mohon jangan
teruskan perjalanan, Tuan. Kasihanilah saya, Tuan. Hamba diutus untuk menjaga
tembok itu. Hamba diutus untuk menghambat perjalanan orang-orang desa. Jika
hamba gagal, maka akan menjadi aib bagi hamba. Mohon kabulkan satu permintaan
hamba. Satu saja! Tidak lebih!” sang hantu merengek-rengek. Anak manusia merasa
terkejut tapi kemudian mengangguk tanda setuju.
“Izinkan hamba
bertukar peran. Hamba menuju jalan kebenaran dan Tuan yang menghalangi saya.
Jika saya berhasil maka Tuan harus kembali ke desa. Jika saya gagal, maka saya
terkutuk menjadi manusia selama-lamanya,” sang hantu berkata dengan segenap
kesungguhan. Tapi, matanya menyimpan kelicikan yang siap merenggut kewaspadaan
anak manusia. Dua belah pihak setuju. Maka, permainan segera dimulai.
Sang
hantu berjalan di hutan mencari tembok penghalang jalan. Anak manusia berada di
atas pohon. Sorot matanya memancarkan ketenangan. Sang hantu terus mencari
namun tidak menemukan tembok di hutan. Ia letih mencari, hendak beristirahat
sebentar. Ia duduk di bawah pohon rindang. Hembus angin membawa sebuah buku
kecil berwarna emas. Sang hantu teringat bahwa buku itu adalah milik anak
manusia. Ia girang bukan kepalang karena sebentar lagi ia akan mengetahui
sumber kekuatan anak manusia. Sang hantu membuka sampulnya, ia membaca, dan
terus membaca. Tahun demi tahun berlalu. Sang hantu terus membaca, kata demi
kata, kalimat demi kalimat, lembar demi lembar. Ia bahagia menjadi manusia.
======================================
(Menjadi Manusia, 3–6)
0 comments:
Post a Comment
Kami Tunggu Tanggapan Sahabat Tunas :)