TUNAS PUITIKA MEDIA TUNAS MUDA MENUJU KREATIF

Menjadi Manusia

by Friday, October 23, 2015 0 comments




Sesosok hantu membuat tembok di tengah hutan. Mustahil untuk dilalui karena tingginya menembus langit dan kerasnya bagai berlian. Manusia yang mencoba menembusnya akan menggerutu lalu kembali ke desa. Ada yang menunggu runtuhnya tembok itu. Setahun, dua tahun, tetapi sia-sia. Orang-orang yang tersesat di hutan akan linglung melihatnya. Bagaimana bisa sebuah tembok dibangun di tengah hutan? Apa pula maksud dibangunnya tembok itu? Beberapa orang bijak mencoba menjawabnya tapi tidak pernah mencapai simpulan yang meyakinkan.
Pada suatu hari ada seorang anak manusia yang melalui hutan. Ia berasal dari Desa Gagah. Lokasinya tidak terlalu jauh dari hutan. Tidak begitu jelas mengapa anak itu berkeliaran di hutan. Mungkin karena ia seorang pengangguran. Jadi, ia mengisi waktunya dengan hal-hal yang tidak berguna. Anak itu tertegun melihat tembok di tengah hutan. Ia tersengat ketika menyentuh tembok itu. Ia mundur tiga langkah, mengernyitkan dahi, duduk, lalu bengong. Beberapa lama ia tetap bengong. Mulutnya terbuka. Air liur menetes di samping bibirnya. Seekor lalat terbang tepat di atas kepalanya, buang hajat, kemudian terbang kembali.
Hantu pembuat tembok duduk di atas pohon, melihat sebentar padanya, kemudian tidur lagi. Hantu itu meramalkan sang anak manusia akan pergi. Jika tidak pasti ia akan menunggu sampai mati, seperti orang-orang sok jagoan lainnya. Tapi melihat dari penampilannya, sang hantu yakin anak manusia akan pergi. Anak itu tidak punya kemampuan teknis dan akademis untuk menembus tembok itu. Wajah anak itu juga jauh dari kesan pejuang kebenaran. Jauh juga dari kesan filsuf. Apalagi ia berasal dari Desa Gagah, desa para penyamun. Sang hantu terkekeh karena pikirannya sendiri. Ia masih ingat kebodohan yang dilakukan orang-orang Desa Gagah. Orang-orang desa itu membawa makanan dan berdoa pada tembok. Ada yang minta jodoh, ada yang minta rejeki, ada yang minta ilmu kebal.
“Mereka pikir tembok ini Tuhan? Dasar orang-orang sinting,” gumam hantu dalam hati.
Anak manusia menggali tanah dengan tangannya. Makin dalam, makin dalam, dan makin dalam hingga menutupi badannya. Hantu berpikir bahwa anak ini pasti tidak waras. Anak manusia mulai tidak kelihatan dari atas pohon. Hantu mulai khawatir. Jangan-jangan anak itu menggali tanah untuk melalui tembok. Hantu terbang dari pohon, menembus tembok, dan masuk ke sisi lain. Ia tidak salah. Anak itu sudah berada di sisi lain tembok. Mengibas-ibaskan bajunya yang kotor oleh tanah galian. Sang hantu kaget setengah mati. Baru kali ini temboknya berhasil dilalui. Yang lebih parah, tembok itu dilewati oleh orang seperti anak itu. Yang bahkan kurang pantas disebut sebagai manusia.
Sang hantu memutar otak. Mondar-mandir bagai manusia. Jangan sampai anak itu mencapai kebenaran. Jika ia sampai menemukannya, maka tatanan semesta akan hancur. Sang hantu menemukan solusinya. Dengan segenap kekuatan ia membuat jurang yang sangat lebar. Dalamnya tak terkira, lebarnya sekitar satu benua. Satu-satunya cara melaluinya adalah dengan terbang di atasnya. Mustahil anak manusia bisa melaluinya. Jika masih ingin, maka ia harus punya sayap. Manusia tidak mungkin punya sayap. Manusia tidak ditakdirkan untuk terbang. Manusia ditakdirkan untuk berjalan, makan, sedikit bersenang-senang, lalu mati.
Anak manusia duduk di tepi jurang. Sorot matanya menjadi redup. Bibirnya yang tebal bergerak-gerak seperti membaca sesuatu. Ia mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku bajunya. Ia pandangi sebentar kemudian ia masukkan lagi ke sakunya. Sang hantu mengira bahwa manusia akan membuat semacam alat untuk terbang. Entah dari daun atau baju yang sedang dipakai. Sepanjang pengetahuan hantu, memang begitulah manusia, selalu membuat alat untuk memuaskan keinginan.
Anak manusia berdiri dari duduknya, melihat jurang sebentar, berbalik arah, kemudian berjalan menjauh. Hantu tersenyum sinis kemudian meludah. Tidak semua air ludahnya jatuh ke tanah, sebagian mengenai wajahnya sendiri. Hantu hendak beranjak pergi ketika guncangan hebat seperti merobohkan bumi. Anak manusia telah merobohkan tembok di tengah hutan. Tembok itu jatuh menutupi jurang. Anak manusia dengan santai berjalan di atasnya. Hantu terbelalak tidak percaya.
Bagaimana bisa? Tidak mungkin! Hantu mulai panik. Tidak mungkin ia melawan lagi. Kekuatan anak manusia melebihi perkiraannya. Satu cara terakhir selalu berhasil. Sang hantu telah menggunakannya sejak awal terbentuknya dunia. Cara itu adalah: TIPUAN.
“Tuanku anak manusia, hamba mohon berhenti sebentar. Berhentilah sebentar dan dengarkanlah hamba berbicara. Tuan makhluk yang amat kuat. Bumi dan langit saksinya. Tembok besar dan jurang dalam tidak dapat menghambat Tuan. Tapi hamba mohon jangan teruskan perjalanan, Tuan. Kasihanilah saya, Tuan. Hamba diutus untuk menjaga tembok itu. Hamba diutus untuk menghambat perjalanan orang-orang desa. Jika hamba gagal, maka akan menjadi aib bagi hamba. Mohon kabulkan satu permintaan hamba. Satu saja! Tidak lebih!” sang hantu merengek-rengek. Anak manusia merasa terkejut tapi kemudian mengangguk tanda setuju.
“Izinkan hamba bertukar peran. Hamba menuju jalan kebenaran dan Tuan yang menghalangi saya. Jika saya berhasil maka Tuan harus kembali ke desa. Jika saya gagal, maka saya terkutuk menjadi manusia selama-lamanya,” sang hantu berkata dengan segenap kesungguhan. Tapi, matanya menyimpan kelicikan yang siap merenggut kewaspadaan anak manusia. Dua belah pihak setuju. Maka, permainan segera dimulai.
Sang hantu berjalan di hutan mencari tembok penghalang jalan. Anak manusia berada di atas pohon. Sorot matanya memancarkan ketenangan. Sang hantu terus mencari namun tidak menemukan tembok di hutan. Ia letih mencari, hendak beristirahat sebentar. Ia duduk di bawah pohon rindang. Hembus angin membawa sebuah buku kecil berwarna emas. Sang hantu teringat bahwa buku itu adalah milik anak manusia. Ia girang bukan kepalang karena sebentar lagi ia akan mengetahui sumber kekuatan anak manusia. Sang hantu membuka sampulnya, ia membaca, dan terus membaca. Tahun demi tahun berlalu. Sang hantu terus membaca, kata demi kata, kalimat demi kalimat, lembar demi lembar. Ia bahagia menjadi manusia.

====================================== 

(Menjadi Manusia, 3–6) 

Tunas Puitika

Penerbit Indie di Semarang Menerima Segala Jenis Naskah Baik Fiksi maupun Nonfiksi

0 comments:

Post a Comment

Kami Tunggu Tanggapan Sahabat Tunas :)